KumpulBlogger.com
Menjadi guru, bukanlah pekerjaan mudah. Didalamnya, dituntut pengabdian, dan
juga ketekunan. Harus ada pula kesabaran, dan welas asih dalam menyampaikan
pelajaran. Sebab, sejatinya, guru bukan hanya mendidik, tapi juga mengajarkan.
Hanya orang-orang tertentu saja yang mampu menjalankannya.
Menjadi guru juga bukan sesuatu yang gampang. Apalagi, menjadi guru bagi
anak-anak yang mempunyai “keistimewaan”. Dan saya, merasa beruntung sekali dapat
menjadi guru mereka, walau cuma dalam beberapa jam saja. Ada kenikmatan
tersendiri, berada di tengah anak-anak dengan latar belakang Cerebral Palsy
(sindroma gangguan otak belakang).
Suatu ketika, saya diminta untuk mendampingi seorang guru, di sebuah kelas
khusus bagi penyandang cacat. Kelas itu, disebut dengan kelas persiapan, sebuah
kelas yang berada dalam tingkatan awal di YPAC Jakarta. Lazimnya, anak-anak
disana berumur antara 9-12 tahun, tapi kemampuan mereka setara dengan anak
berusia 4-5 tahun, atau kelas 0 kecil.
Saat hadir disana, kelas tampak ramai. Mereka rupanya sedang bermain susun
bentuk dan warna. Ada teriak-teriakan ganjil yang parau, dan hentakan-hentakan
kepala yang konstan dari mereka. Ada pula tangan-tangan yang kaku, yang sedang
menyusun keping-keping diagram. Disana-sini terserak mainan kayu dan plastik.
Riuh. Bangku-bangku khusus berderak-derak, bergesek dengan kursi roda sebagian
anak yang beradu dengan lantai.
Saya merasa canggung dengan semua itu. Namun, perasaan itu hilang, saat melihat
seorang guru yang tampak begitu telaten menemani anak-anak disana. “Mari masuk,
duduk sini dekat Si Abang, dia makin pinter lho bikin huruf,” begitu panggilnya
kepada saya. Saya berjalan, melewati anak-anak yang masih sibuk dengan tugas
mereka. Ah benar saja, si Abang, anak berusia 11 tahun yang mengalami Cerebral
Palsy dengan pembesaran kepala itu, tampak tersenyum kepada saya. Badannya
melonjak-lonjak, tangannya memanggil-manggil seakan ingin pamer dengan
kepandaiannya menyusun huruf.
Subhanallah, si Abang kembali melonjak-lonjak. Saya kaget. Saya tersenyum. Dia
tergelak tertawa. Tak lama, kami pun mulai akrab. Dia tak malu lagi dibantu
menyusun angka dan huruf. Susun-tempel-susun-tempel, begitu yang kami lakukan.
Ah, saya mulai menikmati pekerjaan ini. Dia pun kini tampak bergayut di tangan
saya. Tanpa terasa, saya mengelus kepalanya dan mendekatkannya ke dada. Terasa
damai dan hangat.
Sementara di sudut lain, sang Ibu guru tetap sabar sekali menemani semua anak
disana. Dituntunnya tangan anak-anak itu untuk meniti susunan-susunan gambar.
Dibimbingnya setiap jemari dengan tekun, sambil sesekali mengajak mereka
tersenyum. Tangannya tak henti mengusap lembut ujung-ujung jemari lemah itu.
Namun, tak pernah ada keluh, dan marah yang saya dengar.
Waktu berjalan begitu cepat. Dan kini, waktunya untuk pulang. Setelah
membereskan beberapa permainan, anak-anak pun bersiap di bangku masing-masing.
Dduh, damai sekali melihat anak-anak itu bersiap dengan posisi serapih-rapihnya.
Tangan yang bersedekap diatas meja, dan tatapan polos kearah depan, saya yakin,
membuat setiap orang tersenyum. Ibu guru pun mulai memimpin doa, memimpin setiap
anak untuk mengatupkan mata dan memanjatkan harap kepada Tuhan.
Damai. Damai sekali mata-mata yang mengatup itu. Teduh. Teduh sekali melihat
mata mereka semua terpejam. Empat jam sudah saya bersama “malaikat-malaikat”
kecil itu. Lelah dan penat yang saya rasakan, tampak tak berarti dibanding
dengan pengalaman batin yang saya alami. Kini, mereka bergerak, berbaris menuju
pintu keluar. Tampak satu persatu kursi roda bergerak menuju ke arah saya.
Ddduh, ada apa ini?
Lagi-lagi saya terharu. Setibanya di depan saya, mereka semua terdiam,
mengisyaratkan untuk mencium tangan. Ya, mereka mencium tangan saya, sambil
berkata, “Selamat siang Pak Guru..” Ah, perkataan yang tulus yang membuat saya
melambung. Pak guru…Pak Guru, begitu ucap mereka satu persatu. Kursi roda
mereka berderak-derak setiap kali mereka mengayuhnya menuju ke arah saya.
Derak-derak itu kembali membuat saya terharu, membayangkan usaha mereka untuk
sekedar mencium tangan saya.
Anak yang terakhir telah mencium tangan saya. Kini, tatapan saya bergerak ke
samping, ke arah punggung anak-anak yang berjalan ke pintu keluar. Dalam diam
saya berucap, “..selamat jalan anak-anak, selamat jalan malaikat-malaikat
kecilku…” Saya membiarkan airmata yang menetes di sela-sela kelopak. Saya
biarkan bulir itu jatuh, untuk melukiskan perasaan haru dan bangga saya. Bangga
kepada perjuangan mereka, dan juga haru pada semangat yang mereka punya.
***
Teman, menjadi guru bukan pekerjaan mentereng. Menjadi guru juga bukan pekerjaan
yang gemerlap. Tak ada kerlap-kerlip lampu sorot yang memancar, juga
pendar-pendar cahaya setiap kali guru-guru itu sedang membaktikan diri. Sebab
mereka memang bukan para pesohor, bukan pula bintang panggung.
Namun, ada sesuatu yang mulia disana. Pada guru lah ada kerlap-kerlip cahaya
kebajikan dalam setiap nilai yang mereka ajarkan. Lewat guru lah memancar
pendar-pendar sinar keikhlasan dan ketulusan pada kerja yang mereka lakukan.
Merekalah sumber cahaya-cahaya itu, yang menyinari setiap hati anak-anak didik
mereka.
Dari gurulah kita belajar mengeja kata dan kalimat. Pada gurulah kita belajar
lamat-lamat bahasa dunia. Lewat guru, kita belajar budi pekerti, belajar
mengasah hati, dan menyelami nurani. Lewat guru pula kita mengerti tentang
banyak hal-hal yang tak kita pahami sebelumnya. Tak berlebihankah jika kita
menyebutnya sebagai pekerjaan yang mulia?
Teman, jika ingin merasakan pengalaman batin yang berbeda, cobalah menjadi guru.
Rasakan kenikmatan saat setiap anak-anak itu memanggil Anda dengan sebutan itu,
dan biarkan mata penuh perhatian itu memenuhi hati Anda. Ada sesuatu yang
berbeda disana. Cobalah. Rasakan.
Sabtu, 26 Desember 2009
peta impian
Impian akan mengarahkan kita kemana akan melangkah, bagaimana akan berbuat dan bersikap. Dengan impian kita akan tau dimana titik akhir dari perjuangan. Dan segera setelah mencapai impian itu, kita dapat menggantikannya dengan impian lain yang belum tercapai.
Sahabat, dalam meraih impian, kita perlu strategi dan peta. Sehingga saat berjalan dan bertemu dengan hambatan, kita dapat memilih untuk melompatinya ataukah memutarinya dan mengambil jalan lain. Tanpa mengubah impian, hanya mengubah arah jalan saja.
Bayangkan anda berada di tengah samudera di atas sebuah speedboat.
Lima puluh kilometer di depan anda adalah sebuah pulau, dan di
pulau itu terdapat semua yang anda inginkan dan cita-citakan.
Semua impian anda. Dan satu-satunya cara untuk mendapatkan itu
semua adalah sampai ke pulau tersebut. Pulau itu ada di belakang
cakrawala. Tapi cakrawala yang mana…?
Masalahnya adalah anda tidak punya kompas, peta, radio, telepon,
dan anda tidak tahu mana arah ke pulau tersebut. Arah yang salah
akan membuat anda melenceng jauh sekali dari pulau impian,
sementara di sekeliling anda yang terlihat cuma laut dan langit.
Dalam dua jam, anda bisa saja telah sampai di pulau impian.
Tetapi bila anda salah arah – anda bisa kehabisan bahan bakar
sebelum bisa mencapai pulau impian.
Hidup tanpa tujuan yang jelas, tanpa mengetahui dan mengerti
kegunaan hidup anda – adalah sama dengan dilema pulau impian.
Semua impian anda sebenarnya bisa tercapai, namun untuk mencapainya
anda harus mengetahui peta impian. Yaitu apa, di mana, dan bagaimana mencapainya. Anda mutlak mengetahui arah untuk mencapainya. Tentukan peta anda sekarang – untuk dapat mencapai impian anda. Buat seteliti dan seakurat mungkin – dan selanjutnya anda tinggal mengarahkan speedboat anda ke pulau impian… Untuk selanjutnya, Anda meraihnya, merengkuhnya, dan tersenyum dengan bangga, “Inilah impianku, dan aku telah mendapatkannya.”
==========
Sahabat, berhentilah sejenak dan mari kita saling mendoakan,doa untuk sahabat kita, orang tua kita, orang yang kita cintai, serta tak lupa admin web ini . Semoga peta menuju impian hidup yang kita rancang, diridhoi Allah SWT. Kita sadari tubuh kita, nyawa kita dan nafas kita, sepenuhnya adalah miliknya. Tiada satupun peristiwa yang terjadi dalam kehidupan kita, tanpa ridhoNya. Selamat berjuang sahabat… Impian itu, sudah rindu untuk kita rengkuh, dan kita peluk.
Sahabat, dalam meraih impian, kita perlu strategi dan peta. Sehingga saat berjalan dan bertemu dengan hambatan, kita dapat memilih untuk melompatinya ataukah memutarinya dan mengambil jalan lain. Tanpa mengubah impian, hanya mengubah arah jalan saja.
Bayangkan anda berada di tengah samudera di atas sebuah speedboat.
Lima puluh kilometer di depan anda adalah sebuah pulau, dan di
pulau itu terdapat semua yang anda inginkan dan cita-citakan.
Semua impian anda. Dan satu-satunya cara untuk mendapatkan itu
semua adalah sampai ke pulau tersebut. Pulau itu ada di belakang
cakrawala. Tapi cakrawala yang mana…?
Masalahnya adalah anda tidak punya kompas, peta, radio, telepon,
dan anda tidak tahu mana arah ke pulau tersebut. Arah yang salah
akan membuat anda melenceng jauh sekali dari pulau impian,
sementara di sekeliling anda yang terlihat cuma laut dan langit.
Dalam dua jam, anda bisa saja telah sampai di pulau impian.
Tetapi bila anda salah arah – anda bisa kehabisan bahan bakar
sebelum bisa mencapai pulau impian.
Hidup tanpa tujuan yang jelas, tanpa mengetahui dan mengerti
kegunaan hidup anda – adalah sama dengan dilema pulau impian.
Semua impian anda sebenarnya bisa tercapai, namun untuk mencapainya
anda harus mengetahui peta impian. Yaitu apa, di mana, dan bagaimana mencapainya. Anda mutlak mengetahui arah untuk mencapainya. Tentukan peta anda sekarang – untuk dapat mencapai impian anda. Buat seteliti dan seakurat mungkin – dan selanjutnya anda tinggal mengarahkan speedboat anda ke pulau impian… Untuk selanjutnya, Anda meraihnya, merengkuhnya, dan tersenyum dengan bangga, “Inilah impianku, dan aku telah mendapatkannya.”
==========
Sahabat, berhentilah sejenak dan mari kita saling mendoakan,doa untuk sahabat kita, orang tua kita, orang yang kita cintai, serta tak lupa admin web ini . Semoga peta menuju impian hidup yang kita rancang, diridhoi Allah SWT. Kita sadari tubuh kita, nyawa kita dan nafas kita, sepenuhnya adalah miliknya. Tiada satupun peristiwa yang terjadi dalam kehidupan kita, tanpa ridhoNya. Selamat berjuang sahabat… Impian itu, sudah rindu untuk kita rengkuh, dan kita peluk.
Agama, Mistik, dan Ecstasy
AGAMA adalah candu rakyat (Kritik atas Filsafat Hukum Hegel, 1844) merupakan teks Karl Marx yang paling umum dikenal sampai sekarang. Hanya saja, kalimat pendek ini tidak jarang salah dikutip. Kadang-kadang kita membaca religion is the opium for the people, sedangkan sebenarnya tertulis religion is the opium of the people. Perbedaannya kecil saja, hanya for dan of, tetapi bisa menimbulkan interpretasi yang menyimpang sama sekali dari aslinya.
VERSI pertama (candu bagi rakyat) memberi kesan seolah-olah agama menjadi alat dalam tangan golongan kecil (alim ulama, kaum rohaniwan) untuk mempermainkan dan menindas rakyat, barangkali atas nama dan bekerja sama dengan golongan yang berkuasa (kaum kapitalis). Kalau begitu, rakyat biasa menjadi korban penipuan karena itikad buruk segelintir orang yang berhasil merekayasa masyarakat dengan cara demikian.
Maksud Karl Marx tidak demikian. Menurut dia, agama menjadi candu rakyat sebagai suatu keadaan obyektif dalam masyarakat. Adanya agama mencerminkan struktur-struktur sosial tidak sehat dalam masyarakat. Yang dimaksud dengan struktur tidak sehat tentunya tata susunan masyarakat yang kapitalistis. Tapi, kaum kapitalis tidak menjadi biang keladi keadaan itu. Dalam arti tertentu mereka juga menjadi korban, bukan saja kaum buruh, meskipun kedudukan mereka jauh lebih menyenangkan.
Dengan menentang agama, Marx (dan semua orang yang sepakat dengan dia) sudah berusaha mengubah keadaan masyarakat yang tidak sehat itu. Dan memang begitu seluruh usaha intelektualnya. "Sampai sekarang para filsuf hanya menafsirkan dunia dengan pelbagai cara. Yang penting adalah kini kita mengubah dunia" (Tesis mengenai Feuerbach, nr. 11, 1845/46).
Mengapa Marx menyebut agama sebagai candu? Sebab, agama membuat manusia hidup dalam suatu dunia khayalan. Baginya agama adalah semacam eskapisme, usaha untuk keluar dari dunia yang nyata agar dapat masuk suatu dunia lain yang tidak lagi ditandai penderitaan dan kesusahan, suatu dunia sempurna. Agama dengan janjinya tentang surga yang penuh kebahagiaan menyediakan penghiburan yang memuaskan bila keadaan di "lembah mata air" ini (menurut suatu ungkapan keagamaan) sudah tak tertahankan lagi. Tetapi, sayangnya, dunia sempurna itu adalah mimpi belaka. Karena itu, tanpa disadari manusia menipu diri dengan mengejar dunia sempurna itu. Dengan itu manusia sendiri sangat dirugikan, sebab ia melarikan diri dari tugasnya memperbaiki nasibnya dan membuat dunianya tempat yang pantas dihuni dan dikerjakan manusia.
YANG menarik adalah bahwa dalam zaman kita sekarang terjadi kebalikannya dengan yang dilukiskan oleh Marx dulu. Jika di mata Marx agama adalah candu, kini candu menjadi agama. Dalam hal ini kita memakai kata "candu" untuk menunjukkan segala bentuk obat terlarang; tetapi selanjutnya kita memakai istilah "narkotika" saja. Pemakaian narkotika sekarang menjadi suatu masalah besar di seluruh dunia.
Memang benar, pemakaian narkotika merupakan suatu percobaan untuk melarikan diri dari keadaan konkret, suatu usaha untuk masuk dunia khayalan. Tetapi, dengan itu dicari sesuatu yang absolut, sesuatu yang definitif, sesuatu yang sungguh membahagiakan. Jadi, yang dicari melalui pemakaian narkotika justru apa yang dijanjikan oleh agama. Dengan demikian, pemakaian narkotika menjadi semacam pengganti agama. Hal itu terutama terasa di dunia Barat, tempat sekularisasi sangat menonjol, sehingga agama tidak lagi berperanan besar dalam kehidupan umum.
Hubungan antara pemakaian narkotika dan agama itu ditunjukkan oleh beberapa istilah yang digunakan dalam konteks narkotika, yang sering bercirikan bahasa keagamaan. Contoh yang paling jelas adalah nama ecstasy. Seperti diketahui, ecstasy adalah obat kimiawi yang mengalami banyak sukses sejak dasawarsa 1990-an. Menurut penelitian di Amerika Serikat, delapan persen murid sekolah menengah pernah mencoba obat terlarang ini.
Jika ecstasy adalah nama populernya, nama ilmiahnya adalah methylenedioxymethamphetamine, disingkat MDMA. Obat ini diakui berkemampuan kuat mengubah suasana hati seseorang dan bahkan kepribadiannya (mood-and personality-altering). Menurut para ahli, hal itu disebabkan oleh kesanggupannya menstimulasi zat serotonin dalam otak. Orang yang pernah mencoba suatu ecstasy trip dapat memberikan kesaksian yang cukup mengesankan tentang pengalaman ilegal itu.
Nama ecstasy itu adalah versi Inggris untuk kata Yunani ekstasis yang berarti "menempatkan diri di luar" atau "keadaan keluar dari dirinya sendiri". Ekstasis atau ekstase itu menunjukkan pengalaman mistik. Dalam semua agama-baik yang bersifat teistis maupun yang panteistis-ditemukan pola mistik sebagai puncak penghayatan keagamaan. Ekstase adalah tahap terakhir pengalaman mistik itu, di mana jiwa bersatu dengan Tuhan.
Guna mencapai saat ekstase itu, manusia harus mengikuti suatu jalan penyempurnaan yang panjang. Menurut tradisi yang berasal dari filsuf Yunani Plotinos, ia bahkan harus mengikuti tiga jalan: via purgativa (jalan pembersihan), via contemplativa (jalan kontemplatif, permenungan), dan via illuminativa (jalan penerangan, pencerahan). Pada ujung perjalanan panjang itu, makhluk insani akhirnya dapat bercampur baur dengan Sang Pencipta melalui ekstase dan dengan demikian kembali kepada sumbernya.
Menurut para mistisi, pengalaman ekstase itu ditandai ineffability: tidak mungkin diungkapkan dengan kata. Karena itu, mereka sering mencari lambang untuk merumuskan pengalaman unik ini, antara lain persatuan antara pengantin pria dan wanita. Mistisi Belanda Ruusbroec (abad ke-14), misalnya, melukiskan pengalamannya dalam buku Pernikahan Rohani. Tetapi, simbol seperti itu mudah salah dimengerti, juga karena ekstase mistik tidak merupakan suatu keadaan tetap, tidak sering terjadi, dan-kalaupun dialami-tidak berlangsung lama.
DIBANDINGKAN dengan masa lampau, dalam zaman kita sekarang mistik tidak begitu menonjol lagi dalam bidang keagamaan, meskipun tidak pernah (dan tidak mungkin juga) sampai lengkap sama sekali. Karena itu, menjadi ekstratragis bila unsur hakiki agama itu sekarang dikaitkan dengan pemakaian narkotika. Tragis, karena narkotika justru membawa kehancuran. Kehancuran fisik, mental, dan juga sosial, karena berulang kali dapat disaksikan bagaimana kasus narkotika membawa banyak penderitaan bagi lingkungannya, khususnya keluarganya.
Pemakaian narkotika bukan merupakan suatu fenomena baru. Sepanjang sejarah hal itu selalu dikenal, tetapi tidak pernah pada skala begitu besar seperti sekarang. Yang baru adalah munculnya banyak narkotika kimiawi-seperti ecstasy-di samping narkotika alami yang sudah lama dikenal, setidak-tidaknya dalam lingkungan terbatas.
Faktor baru yang lebih penting lagi adalah penyebaran narkotika menurut sistem penyaringan internasional. Baik transportasi maupun pemasaran pandai memanfaatkan jaringan komunikasi modern. Karena itu, mereka berhasil mencakup begitu banyak tempat dan mencapai begitu banyak pemakai. Dengan demikian, masalah narkotika ini menjadi suatu akibat negatif globalisasi yang menandai zaman kita.
VERSI pertama (candu bagi rakyat) memberi kesan seolah-olah agama menjadi alat dalam tangan golongan kecil (alim ulama, kaum rohaniwan) untuk mempermainkan dan menindas rakyat, barangkali atas nama dan bekerja sama dengan golongan yang berkuasa (kaum kapitalis). Kalau begitu, rakyat biasa menjadi korban penipuan karena itikad buruk segelintir orang yang berhasil merekayasa masyarakat dengan cara demikian.
Maksud Karl Marx tidak demikian. Menurut dia, agama menjadi candu rakyat sebagai suatu keadaan obyektif dalam masyarakat. Adanya agama mencerminkan struktur-struktur sosial tidak sehat dalam masyarakat. Yang dimaksud dengan struktur tidak sehat tentunya tata susunan masyarakat yang kapitalistis. Tapi, kaum kapitalis tidak menjadi biang keladi keadaan itu. Dalam arti tertentu mereka juga menjadi korban, bukan saja kaum buruh, meskipun kedudukan mereka jauh lebih menyenangkan.
Dengan menentang agama, Marx (dan semua orang yang sepakat dengan dia) sudah berusaha mengubah keadaan masyarakat yang tidak sehat itu. Dan memang begitu seluruh usaha intelektualnya. "Sampai sekarang para filsuf hanya menafsirkan dunia dengan pelbagai cara. Yang penting adalah kini kita mengubah dunia" (Tesis mengenai Feuerbach, nr. 11, 1845/46).
Mengapa Marx menyebut agama sebagai candu? Sebab, agama membuat manusia hidup dalam suatu dunia khayalan. Baginya agama adalah semacam eskapisme, usaha untuk keluar dari dunia yang nyata agar dapat masuk suatu dunia lain yang tidak lagi ditandai penderitaan dan kesusahan, suatu dunia sempurna. Agama dengan janjinya tentang surga yang penuh kebahagiaan menyediakan penghiburan yang memuaskan bila keadaan di "lembah mata air" ini (menurut suatu ungkapan keagamaan) sudah tak tertahankan lagi. Tetapi, sayangnya, dunia sempurna itu adalah mimpi belaka. Karena itu, tanpa disadari manusia menipu diri dengan mengejar dunia sempurna itu. Dengan itu manusia sendiri sangat dirugikan, sebab ia melarikan diri dari tugasnya memperbaiki nasibnya dan membuat dunianya tempat yang pantas dihuni dan dikerjakan manusia.
YANG menarik adalah bahwa dalam zaman kita sekarang terjadi kebalikannya dengan yang dilukiskan oleh Marx dulu. Jika di mata Marx agama adalah candu, kini candu menjadi agama. Dalam hal ini kita memakai kata "candu" untuk menunjukkan segala bentuk obat terlarang; tetapi selanjutnya kita memakai istilah "narkotika" saja. Pemakaian narkotika sekarang menjadi suatu masalah besar di seluruh dunia.
Memang benar, pemakaian narkotika merupakan suatu percobaan untuk melarikan diri dari keadaan konkret, suatu usaha untuk masuk dunia khayalan. Tetapi, dengan itu dicari sesuatu yang absolut, sesuatu yang definitif, sesuatu yang sungguh membahagiakan. Jadi, yang dicari melalui pemakaian narkotika justru apa yang dijanjikan oleh agama. Dengan demikian, pemakaian narkotika menjadi semacam pengganti agama. Hal itu terutama terasa di dunia Barat, tempat sekularisasi sangat menonjol, sehingga agama tidak lagi berperanan besar dalam kehidupan umum.
Hubungan antara pemakaian narkotika dan agama itu ditunjukkan oleh beberapa istilah yang digunakan dalam konteks narkotika, yang sering bercirikan bahasa keagamaan. Contoh yang paling jelas adalah nama ecstasy. Seperti diketahui, ecstasy adalah obat kimiawi yang mengalami banyak sukses sejak dasawarsa 1990-an. Menurut penelitian di Amerika Serikat, delapan persen murid sekolah menengah pernah mencoba obat terlarang ini.
Jika ecstasy adalah nama populernya, nama ilmiahnya adalah methylenedioxymethamphetamine, disingkat MDMA. Obat ini diakui berkemampuan kuat mengubah suasana hati seseorang dan bahkan kepribadiannya (mood-and personality-altering). Menurut para ahli, hal itu disebabkan oleh kesanggupannya menstimulasi zat serotonin dalam otak. Orang yang pernah mencoba suatu ecstasy trip dapat memberikan kesaksian yang cukup mengesankan tentang pengalaman ilegal itu.
Nama ecstasy itu adalah versi Inggris untuk kata Yunani ekstasis yang berarti "menempatkan diri di luar" atau "keadaan keluar dari dirinya sendiri". Ekstasis atau ekstase itu menunjukkan pengalaman mistik. Dalam semua agama-baik yang bersifat teistis maupun yang panteistis-ditemukan pola mistik sebagai puncak penghayatan keagamaan. Ekstase adalah tahap terakhir pengalaman mistik itu, di mana jiwa bersatu dengan Tuhan.
Guna mencapai saat ekstase itu, manusia harus mengikuti suatu jalan penyempurnaan yang panjang. Menurut tradisi yang berasal dari filsuf Yunani Plotinos, ia bahkan harus mengikuti tiga jalan: via purgativa (jalan pembersihan), via contemplativa (jalan kontemplatif, permenungan), dan via illuminativa (jalan penerangan, pencerahan). Pada ujung perjalanan panjang itu, makhluk insani akhirnya dapat bercampur baur dengan Sang Pencipta melalui ekstase dan dengan demikian kembali kepada sumbernya.
Menurut para mistisi, pengalaman ekstase itu ditandai ineffability: tidak mungkin diungkapkan dengan kata. Karena itu, mereka sering mencari lambang untuk merumuskan pengalaman unik ini, antara lain persatuan antara pengantin pria dan wanita. Mistisi Belanda Ruusbroec (abad ke-14), misalnya, melukiskan pengalamannya dalam buku Pernikahan Rohani. Tetapi, simbol seperti itu mudah salah dimengerti, juga karena ekstase mistik tidak merupakan suatu keadaan tetap, tidak sering terjadi, dan-kalaupun dialami-tidak berlangsung lama.
DIBANDINGKAN dengan masa lampau, dalam zaman kita sekarang mistik tidak begitu menonjol lagi dalam bidang keagamaan, meskipun tidak pernah (dan tidak mungkin juga) sampai lengkap sama sekali. Karena itu, menjadi ekstratragis bila unsur hakiki agama itu sekarang dikaitkan dengan pemakaian narkotika. Tragis, karena narkotika justru membawa kehancuran. Kehancuran fisik, mental, dan juga sosial, karena berulang kali dapat disaksikan bagaimana kasus narkotika membawa banyak penderitaan bagi lingkungannya, khususnya keluarganya.
Pemakaian narkotika bukan merupakan suatu fenomena baru. Sepanjang sejarah hal itu selalu dikenal, tetapi tidak pernah pada skala begitu besar seperti sekarang. Yang baru adalah munculnya banyak narkotika kimiawi-seperti ecstasy-di samping narkotika alami yang sudah lama dikenal, setidak-tidaknya dalam lingkungan terbatas.
Faktor baru yang lebih penting lagi adalah penyebaran narkotika menurut sistem penyaringan internasional. Baik transportasi maupun pemasaran pandai memanfaatkan jaringan komunikasi modern. Karena itu, mereka berhasil mencakup begitu banyak tempat dan mencapai begitu banyak pemakai. Dengan demikian, masalah narkotika ini menjadi suatu akibat negatif globalisasi yang menandai zaman kita.
Pemahaman Absolut
Seekor gajah dibawa ke sekelompok orang buta yang belum pernah bertemu binatang semacam itu. Yang satu meraba kakinya dan mengatakan bahwa gajah adalah tiang raksasa yang hidup. yang lin meraba belalainya dan menyebutkan gajah sebagai ular raksasa. yang lin meraba gadingnya dan menganggap gajah adalah semacam bajak raksasa yang sangat tajam, dan seterusnya. Kemudian mereka bertengkar, masing-masing merasa pendapatnya yang paling benar, dan pendapat orang lain salah.
Tidak ada satupun pendapat mereka yang benar mutlak, dan tak ada satupun yang salah. Kebenaran mutlak, atau satu kebenaran untuk semua, tidak dapat dicapai karena gerakan konstan dari keadaan orang yang mengatakannya, kepada siapa, kapan, dimana, mengapa, dan bagaimana hal itu diatakan. Yang ditegaskan oleh masing-masing orang buta tersebut adalah sudut pandang yang menggambarkan bentuk seekora gajah, bukan kebenaran absolut.
Setiap orang belajar melihat berbagai hal melalui pemikiran dan nalurinya masing-masing. Kehidupannya di masa lalu membantu mereka untuk menentukan pendapat mereka terhadap berbagai masalah dan obyek yang mereka temui. Karena masing-masing individu memiliki pemikiran dan naluri, maka persepsi yang ditemui merupakan kebenaran, bukan merupakan kesalahan. Hidup tidak hanya mengandung satu kebenaran untuk suatu ide atau obyek tertentu, namun kita dapat menemukan banyak kebenaran dalam persepsi seseorang. Seseorang tidak seharusnya membuktikan kebenaran bahwa satu obyek mengandung arti yang benar, namun seharusnya membangun konsepsi di sekeliling obyek.
Usaha untuk menentukan sesuatu kebenaran merupakan hal yang sulit, bahkan mustahil. Persepsi kita dalam menilai suatu realitas mungkin berbeda dari satu orang ke orang yang lain. Satu hal yang mungkin benar untuk seseorang bisa jadi berbeda untuk orang lain. Karena setiap orang memiliki persepsi yang berbeda mengenai hidup, sulit untuk menimbang kandungan kebenaran sebuah konsep.
Setiap pendapat dibentuk sebagai satu kebenaran untuk individu yang mengasumsikannya. Variasi dari berbagai konsep mungkin baik untuk dipertimbangkan kebenarannya. Disinilah orang membangun pemahaman yang lebih mendalam untuk suatu obyek. Kebenaran dapat diraih melalui konsep dan bukan melalui obyek itu sendiri. karena berbagai individu memiliki persepsi yang berbeda, mereka memiliki berbagai kebenaran untuk dipertimbangkan atau tidak dipertimbangkan.
Sebagai contoh, mustahil untuk mempertimbangkan, benar atau salah, memotong pohon bisa merupakan hal yang 'baik' atau 'buruk'. Seseorang mungkin memiliki konsep bahwa memotong pohon menghancurkan rumah untuk burung dan binatang-binatang lain. Yang lain beranggapan bahwa memotong pohon merupakan sesuatu yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam membangun rumah. Hanya karena ada beberapa sudut pandang untuk kasus ini, tidak berarti bahwa pasti ada pernyataan yang salah. Pohon dapat digunakan untuk berbagai keperluan, mulai dari obat-obatan, kertas, sampai perahu, dan tidak ada yang salah dari pandangan ini. Pohon akan tetap berdiri sebagai pohon, tapi nilai dari pohon tersebut dapat berbeda, tergantung siapa yang menggunakannya.
Konsep tentang Tuhan atau ketiadaan Tuhan, adalah masalah lain yang sering ingin dibuktikan. Seorang filsuf terkenal, Soren Kierkegaard menyatakan, "Jika TUhan tidak ada, akan sangat mustahil untuk bisa membuktikannya; dan jika Ia memang benar-benar ada, sangatlah tolol untuk mencoba membuktikannya." Pembuktian keberadaan atau ketidakberadaan TUhan hanya menghasilkan alasan untuk percaya, bukan bukti nyata keberadaan Tuhan. Kierkegaard juga menegaskan, "... antara Tuhan dan KaryaNya terdapat relasi yang absolut: Tuhan bukanlah sebuah nama, namun sebuah konsep." (Kierkegaard, 72). Relasi antara manusi dengan Tuhan adalah sebuah konsep. Seseorang yang percaya akan TUhan, tidak dapat membuktikan keberadaanNya melalui relasi pribadinya dengan Tuhan. Kierkegaard menambahkan lagi, "Karya Tuhan adalah sesuatu yang hanya dapat dilakukanNya."
Kita tidak memiliki dasar untuk membuktikan karya Tuhan. Kita juga tidak tahu karya macam apa yang dilakukan TUhan pada masing-masing individu. Namun, beberapa kelompok religius telah membuat kesalahan dengan memaksakan kepercayaannya pada individu-individu yang berbeda. Beberapa dari mereka menyatkaan bahwa kepercayaan mereka adalah satu-satunya kepercayaan yang "benar". Hal ini tidak dapat dibenarkan. Ini mungkin merupakan alasan mengapa agama atau kepercayaan menjadi faktor terbesar dalam perang-perang yang pernah terjadi. Usaha untuk mencari pengikut satu kebenaran, tidak dilakukan dengan membebaskan individu atau masyarakat untuk mengikuti hal yang mereka anggap benar, namun malah membuat orang frustasi dan bermusuhan.
Semua konsep sangatlah dinamis, kebenaran bagi seseorang yang mempercayai mungkin nampak ironis bagi dirinya. Seseorang mungkin percaya bahwa televisi mendukung kekerasan pada anak-anak, dengan mengekspos penggunaan kata-kata kotor dan kebodohan yang dilakukan. Orang lain mungkin percaya bahwa televisi merupakan alat pendidik karena mengekspos masalah-masalah tersebut dengan tujuan untuk dipahami. Meski keduanya mungkin sangat benar bagi masing-masing orang yang menyatakannya, dua masalah ini sangat kontradiktif. Ketidaksepahaman tidak membuat pernyataan yang lain salah, namun membentuk kebenaran yang lain.
Jika masing-masing orang buta menghabiskan waktu lebih banyak untuk memahami kebenaran lain yang ada dibanding membuktikan pendapatnya yang paling benar, mereka mungkin menemukan bahwa gajah adalah sebuah tiang raksasa yang hidup, ular raksasa, atau bajak yang sangat tajam pada saat yang sama, atau pada saat yang berbeda-beda. Mungkin juga mereka menyimpulkan gajah bukan salah satu dari gambaran yang telah mereka sebutkan. Opini dari orang-orang buta itu mungkin akan bergerak konstan, karena penerimaan dari berbagai sudut pandang yang saat ini ada, atau mungkin ada di masa yang akan datang. Meski gajah itu tetap sama, opini tentangnya mungkin akan berubah dan beradaptasi.
Tidak ada satupun pendapat mereka yang benar mutlak, dan tak ada satupun yang salah. Kebenaran mutlak, atau satu kebenaran untuk semua, tidak dapat dicapai karena gerakan konstan dari keadaan orang yang mengatakannya, kepada siapa, kapan, dimana, mengapa, dan bagaimana hal itu diatakan. Yang ditegaskan oleh masing-masing orang buta tersebut adalah sudut pandang yang menggambarkan bentuk seekora gajah, bukan kebenaran absolut.
Setiap orang belajar melihat berbagai hal melalui pemikiran dan nalurinya masing-masing. Kehidupannya di masa lalu membantu mereka untuk menentukan pendapat mereka terhadap berbagai masalah dan obyek yang mereka temui. Karena masing-masing individu memiliki pemikiran dan naluri, maka persepsi yang ditemui merupakan kebenaran, bukan merupakan kesalahan. Hidup tidak hanya mengandung satu kebenaran untuk suatu ide atau obyek tertentu, namun kita dapat menemukan banyak kebenaran dalam persepsi seseorang. Seseorang tidak seharusnya membuktikan kebenaran bahwa satu obyek mengandung arti yang benar, namun seharusnya membangun konsepsi di sekeliling obyek.
Usaha untuk menentukan sesuatu kebenaran merupakan hal yang sulit, bahkan mustahil. Persepsi kita dalam menilai suatu realitas mungkin berbeda dari satu orang ke orang yang lain. Satu hal yang mungkin benar untuk seseorang bisa jadi berbeda untuk orang lain. Karena setiap orang memiliki persepsi yang berbeda mengenai hidup, sulit untuk menimbang kandungan kebenaran sebuah konsep.
Setiap pendapat dibentuk sebagai satu kebenaran untuk individu yang mengasumsikannya. Variasi dari berbagai konsep mungkin baik untuk dipertimbangkan kebenarannya. Disinilah orang membangun pemahaman yang lebih mendalam untuk suatu obyek. Kebenaran dapat diraih melalui konsep dan bukan melalui obyek itu sendiri. karena berbagai individu memiliki persepsi yang berbeda, mereka memiliki berbagai kebenaran untuk dipertimbangkan atau tidak dipertimbangkan.
Sebagai contoh, mustahil untuk mempertimbangkan, benar atau salah, memotong pohon bisa merupakan hal yang 'baik' atau 'buruk'. Seseorang mungkin memiliki konsep bahwa memotong pohon menghancurkan rumah untuk burung dan binatang-binatang lain. Yang lain beranggapan bahwa memotong pohon merupakan sesuatu yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam membangun rumah. Hanya karena ada beberapa sudut pandang untuk kasus ini, tidak berarti bahwa pasti ada pernyataan yang salah. Pohon dapat digunakan untuk berbagai keperluan, mulai dari obat-obatan, kertas, sampai perahu, dan tidak ada yang salah dari pandangan ini. Pohon akan tetap berdiri sebagai pohon, tapi nilai dari pohon tersebut dapat berbeda, tergantung siapa yang menggunakannya.
Konsep tentang Tuhan atau ketiadaan Tuhan, adalah masalah lain yang sering ingin dibuktikan. Seorang filsuf terkenal, Soren Kierkegaard menyatakan, "Jika TUhan tidak ada, akan sangat mustahil untuk bisa membuktikannya; dan jika Ia memang benar-benar ada, sangatlah tolol untuk mencoba membuktikannya." Pembuktian keberadaan atau ketidakberadaan TUhan hanya menghasilkan alasan untuk percaya, bukan bukti nyata keberadaan Tuhan. Kierkegaard juga menegaskan, "... antara Tuhan dan KaryaNya terdapat relasi yang absolut: Tuhan bukanlah sebuah nama, namun sebuah konsep." (Kierkegaard, 72). Relasi antara manusi dengan Tuhan adalah sebuah konsep. Seseorang yang percaya akan TUhan, tidak dapat membuktikan keberadaanNya melalui relasi pribadinya dengan Tuhan. Kierkegaard menambahkan lagi, "Karya Tuhan adalah sesuatu yang hanya dapat dilakukanNya."
Kita tidak memiliki dasar untuk membuktikan karya Tuhan. Kita juga tidak tahu karya macam apa yang dilakukan TUhan pada masing-masing individu. Namun, beberapa kelompok religius telah membuat kesalahan dengan memaksakan kepercayaannya pada individu-individu yang berbeda. Beberapa dari mereka menyatkaan bahwa kepercayaan mereka adalah satu-satunya kepercayaan yang "benar". Hal ini tidak dapat dibenarkan. Ini mungkin merupakan alasan mengapa agama atau kepercayaan menjadi faktor terbesar dalam perang-perang yang pernah terjadi. Usaha untuk mencari pengikut satu kebenaran, tidak dilakukan dengan membebaskan individu atau masyarakat untuk mengikuti hal yang mereka anggap benar, namun malah membuat orang frustasi dan bermusuhan.
Semua konsep sangatlah dinamis, kebenaran bagi seseorang yang mempercayai mungkin nampak ironis bagi dirinya. Seseorang mungkin percaya bahwa televisi mendukung kekerasan pada anak-anak, dengan mengekspos penggunaan kata-kata kotor dan kebodohan yang dilakukan. Orang lain mungkin percaya bahwa televisi merupakan alat pendidik karena mengekspos masalah-masalah tersebut dengan tujuan untuk dipahami. Meski keduanya mungkin sangat benar bagi masing-masing orang yang menyatakannya, dua masalah ini sangat kontradiktif. Ketidaksepahaman tidak membuat pernyataan yang lain salah, namun membentuk kebenaran yang lain.
Jika masing-masing orang buta menghabiskan waktu lebih banyak untuk memahami kebenaran lain yang ada dibanding membuktikan pendapatnya yang paling benar, mereka mungkin menemukan bahwa gajah adalah sebuah tiang raksasa yang hidup, ular raksasa, atau bajak yang sangat tajam pada saat yang sama, atau pada saat yang berbeda-beda. Mungkin juga mereka menyimpulkan gajah bukan salah satu dari gambaran yang telah mereka sebutkan. Opini dari orang-orang buta itu mungkin akan bergerak konstan, karena penerimaan dari berbagai sudut pandang yang saat ini ada, atau mungkin ada di masa yang akan datang. Meski gajah itu tetap sama, opini tentangnya mungkin akan berubah dan beradaptasi.
Tuhan Pasca-Tsunami
Sudah bisa diduga, dalam bencana besar seperti gempa pemboyong tsunami yang menewaskan tak kurang dari 100.000 orang Aceh ini, akan banyak sekali orang yang tidak puas dengan sekadar penjelasan ilmiah. Keterangan para ahli gempa dan tsunami soal lempengan-lempengan bumi yang bergeser setiap tahun, lantas bergetar, menelan dan lalu memuntahkan air yang sedemikian dahsyat tidak dianggap memadai untuk memuaskan dahaga keingintahuan mereka.
Makanya, selalu ada banyak orang yang terobsesi untuk tahu lebih dalam tentang penyebab terjauh dari semua itu dengan melontarkan pelbagai ultimate questions. Kalau sudah berpikir soal penyebab terjauh, perbincangan tentulah sudah masuk ke ranah filsafat atau teologi. Lantas muncullah pertanyaan: sejauh apa peran Tuhan di dalam "menghajar" sedemikian banyak korban itu? Pada titik inilah spekulasi-spekulasi teologis berlangsung dengan begitu liarnya.
Dan, benar saja. Menurut teman tadi, di masyarakat kita, kini ada beberapa spekulasi teologis yang semarak bermunculan pascagempa dan tsunami yang mengentakkan nurani dunia itu. Pertama, bagi "kiai-kiai Orba" yang punya corong untuk berkhotbah di masjid-masjid itu, bencana sebesar ini tak lain adalah hukuman Tuhan atas kealpaan dan kesombongan kita selama ini. Lebih spesifik, mereka bahkan menyebut bencana ini sebagai akibat atau buah dari pertikaian antara pelbagai elemen anak bangsa di Serambi Mekkah yang tidak kunjung usai.
Dengan elaborasi yang cenderung menyederhanakan, mereka menyayangkan TNI dan GAM yang saling bunuh. Sementara itu, rakyat Aceh juga tak kunjung taat terhadap Ibu Pertiwi, NKRI. Demikianlah tafsiran teologis yang sepenuhnya spekulatif dan kental aroma pemikiran ala Orba itu menggema di sebagian masjid.
Kedua, berbeda dengan logika hukuman tadi, tafsiran kedua justru beranggapan bahwa tragedi ini justru bersifat ujian, bukan hukuman. Di beberapa tempat, kita dapat menemukan selebaran yang mengatakan antara lain, bencana Aceh merupakan "ujian" Tuhan untuk mengukur keteguhan dan konsistensi rakyat Aceh dalam menjalankan syariat Islam. Hm….
Sekarang, ketika kita sedang bergulat dengan proses evakuasi dan rehabilitasi Aceh, muncul pula isu-isu yang menguatkan kesan bahwa Tuhan sedang menguji konsistensi dan keteguhan rakyat Aceh dalam menjalankan syariat Islam dan menjaga status Aceh sebagai Serambi Mekkah. Isu pemurtadan, kristenisasi, dan adopsi diembuskan sebagian pihak yang mungkin sedang menangguk di air keruh. Tak heran, dalam sebuah pertemuan dengan ribuan alumni Pondok Modern Gontor di Jakarta Convention Center, Jumat (7/1) lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun merasa perlu menanggapi isu-isu yang tidak bertanggung jawab itu. Secara reaktif beliau lantas menegaskan, "Pemerintah akan sekuat tenaga menjaga status Aceh sebagai Serambi Mekkah!"
DEMI mencermati diskursus tentang Tuhan dan prasangka tentang keterlibatan-Nya dalam bencana terakhir ini, Jaringan Islam Liberal berinisiatif melangsungkan diskusi soal "Tuhan Pacsa-Tsunami" yang bertempat di Freedom Institute, Selasa (11/1) lalu. Diskusi yang bertepatan dengan hari milad Ulil Abshar-Abdalla itu beranjak dan bertolak dari keprihatinan yang mendalam akan rumusan "teologi bencana alam" yang berkembang dan populer di tengah masyarakat dewasa ini.
Baik Goenawan Mohamad maupun Syamsurizal Pangabean yang bertindak sebagai pembicara dalam diskusi itu sama- sama prihatin akan rumusan teologis yang tidak sungkan- sungkan mengekspos "intervensi" Tuhan yang berlebihan dalam kiamat kecil itu. Kecenderungan seperti itu gampang sekali kita simak dari khotbah-khotbah Jumat, pengajian di majelis taklim maupun majelis zikir, atau ceramah keagamaan di sejumlah televisi.
Intinya, telah muncul rumusan teologi tentang bencana alam (tidak murni buatan manusia seperti tragedi Poso dan Maluku) yang pada akhirnya tetap terjebak di dalam dua perangkap teologis yang mengharukan: entah mengambinghitamkan korban bencana sendiri ataupun menyalahkan Tuhan yang dianggap sebagai pihak yang tak pandang ampun dan tak kenal belas kasihan menghajar hamba-hamba-Nya. Kedua kecenderungan itu rupanya juga bagian dari pandangan teologi masyarakat kita yang cenderung fatalistik.
Ketika rumusan teologis yang dikemukakan mengasumsi bahwa bencana Aceh adalah refleksi dari kemurkaan Tuhan, di situ secara eksplisit sudah terkandung nada-nada yang menyudutkan dan menyalahkan rakyat Aceh yang kini menjadi korban (blaming the victims). Sebaliknya, ketika bencana ini dianggap sebagai "ujian" Tuhan untuk umat manusia yang Dia cintai, sebagaimana yang dikatakan sejumlah kutipan kitab suci (perhatikan betapa beratnya ujian itu!), secara implisit kita juga sedang terlibat dalam proses menyalahkan Tuhan (blaming God). Kedua kecenderungan tadi tentu bukanlah rumusan teologis yang bisa dianggap elegan dan ideal tentang bencana alam.
Untuk itulah, kita diajak membuat rumusan teologis yang tidak gegabah dan potensial menambah luka dan duka rakyat Aceh sekaligus berpandangan elegan dan fair terhadap Tuhan sendiri. Itulah rumusan teologis yang sekarang sedang kita cari dan kita kehendaki.
Hanya saja, persoalannya tidaklah segampang yang kita kira. Sebagaimana dikemukakan Ulil Abshar-Abdalla dalam diskusi itu, godaan bagi agama (diwakili oleh pemuka agama ataupun juru khotbah tadi) ataupun ilmu pengetahuan untuk menjelaskan sejumlah misteri yang terkandung di dalam dunia ini teramat besar. Makanya, sejumlah misteri dan absurditas yang terkandung di dalam pelbagai peristiwa di dunia ini keduanya coba diterangkan baik oleh agama maupun ilmu pengetahuan.
Secara psikologis, manusia tidak pernah betah menjalankan hidup dengan menyisakan sejumlah misteri karena misteri adalah kegelapan. Dan, kegelapan pada hakikatnya adalah situasi yang cenderung dibenci. Untuk itu, kegelapan itu coba diterobos dan diterangi, baik dengan penjelasan ilmu pengetahuan maupun penjelasan agama atau teologi.
Tetapi, sudah nyata bahwa penjelasan ilmu pengetahuan dan penjelasan agama memang berbeda. Kita bisa memahami sebuah misteri secara lebih pasti dan dapat memverifikasinya secara ilmiah dengan perangkat dan metode yang disediakan ilmu pengetahuan. Sebaliknya, penjelasan agama tak jarang justru menjelma menjadi deretan spekulasi yang tiada henti. Dan, naifnya, kita tidak pernah kunjung bisa memverifikasi sisi kebenarannya kecuali meyakini saja. Kita sesungguhnya tidak pernah bisa menanyakan kebenaran "versi Tuhan" akan bencana Aceh, apalagi mendialogkannya secara langsung.
Karenanya, para sosiolog cenderung mengatakan bahwa "kebenaran agama" tidak pernah bisa dibuktikan dan bersifat prapengalaman. Walaupun sedang berspekulasi secara liar, dia selalu saja diimani sebagai kebenaran yang hakiki, sekalipun belum dibuktikan. Di sinilah problematisnya spekulasi- spekulasi tentang Tuhan dalam tsunami kemarin.
TIDAK seorang pun yang bisa membuktikan kalau Tuhan ikut aktif mengintervensi peristiwa tsunami yang kemarin menghantam kita. Siapa yang tahu pasti kalau hal tersebut ditujukan untuk memberi "pelajaran" kepada rakyat Aceh yang ironisnya justru taat beragama? Makanya, sembari melakukan proses evakuasi dan rehabilitasi Aceh, kita juga dipanggil untuk mencari rumusan teologi bencana alam yang lebih mengena. Sembari itu, ada baiknya kita juga tidak terlalu lancang dan sok mengerti soal apa sebenarnya yang dimaui Tuhan dari bencana ini.
Klaim atau perasaan bahwa kita tahu tentang apa yang dimaui Tuhan dalam bencana kali ini, sekalipun bersandar pada argumen dan landasan firman-Nya, sesungguhnya merupakan bentuk kesombongan yang tiada tara.
Makanya, selalu ada banyak orang yang terobsesi untuk tahu lebih dalam tentang penyebab terjauh dari semua itu dengan melontarkan pelbagai ultimate questions. Kalau sudah berpikir soal penyebab terjauh, perbincangan tentulah sudah masuk ke ranah filsafat atau teologi. Lantas muncullah pertanyaan: sejauh apa peran Tuhan di dalam "menghajar" sedemikian banyak korban itu? Pada titik inilah spekulasi-spekulasi teologis berlangsung dengan begitu liarnya.
Dan, benar saja. Menurut teman tadi, di masyarakat kita, kini ada beberapa spekulasi teologis yang semarak bermunculan pascagempa dan tsunami yang mengentakkan nurani dunia itu. Pertama, bagi "kiai-kiai Orba" yang punya corong untuk berkhotbah di masjid-masjid itu, bencana sebesar ini tak lain adalah hukuman Tuhan atas kealpaan dan kesombongan kita selama ini. Lebih spesifik, mereka bahkan menyebut bencana ini sebagai akibat atau buah dari pertikaian antara pelbagai elemen anak bangsa di Serambi Mekkah yang tidak kunjung usai.
Dengan elaborasi yang cenderung menyederhanakan, mereka menyayangkan TNI dan GAM yang saling bunuh. Sementara itu, rakyat Aceh juga tak kunjung taat terhadap Ibu Pertiwi, NKRI. Demikianlah tafsiran teologis yang sepenuhnya spekulatif dan kental aroma pemikiran ala Orba itu menggema di sebagian masjid.
Kedua, berbeda dengan logika hukuman tadi, tafsiran kedua justru beranggapan bahwa tragedi ini justru bersifat ujian, bukan hukuman. Di beberapa tempat, kita dapat menemukan selebaran yang mengatakan antara lain, bencana Aceh merupakan "ujian" Tuhan untuk mengukur keteguhan dan konsistensi rakyat Aceh dalam menjalankan syariat Islam. Hm….
Sekarang, ketika kita sedang bergulat dengan proses evakuasi dan rehabilitasi Aceh, muncul pula isu-isu yang menguatkan kesan bahwa Tuhan sedang menguji konsistensi dan keteguhan rakyat Aceh dalam menjalankan syariat Islam dan menjaga status Aceh sebagai Serambi Mekkah. Isu pemurtadan, kristenisasi, dan adopsi diembuskan sebagian pihak yang mungkin sedang menangguk di air keruh. Tak heran, dalam sebuah pertemuan dengan ribuan alumni Pondok Modern Gontor di Jakarta Convention Center, Jumat (7/1) lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun merasa perlu menanggapi isu-isu yang tidak bertanggung jawab itu. Secara reaktif beliau lantas menegaskan, "Pemerintah akan sekuat tenaga menjaga status Aceh sebagai Serambi Mekkah!"
DEMI mencermati diskursus tentang Tuhan dan prasangka tentang keterlibatan-Nya dalam bencana terakhir ini, Jaringan Islam Liberal berinisiatif melangsungkan diskusi soal "Tuhan Pacsa-Tsunami" yang bertempat di Freedom Institute, Selasa (11/1) lalu. Diskusi yang bertepatan dengan hari milad Ulil Abshar-Abdalla itu beranjak dan bertolak dari keprihatinan yang mendalam akan rumusan "teologi bencana alam" yang berkembang dan populer di tengah masyarakat dewasa ini.
Baik Goenawan Mohamad maupun Syamsurizal Pangabean yang bertindak sebagai pembicara dalam diskusi itu sama- sama prihatin akan rumusan teologis yang tidak sungkan- sungkan mengekspos "intervensi" Tuhan yang berlebihan dalam kiamat kecil itu. Kecenderungan seperti itu gampang sekali kita simak dari khotbah-khotbah Jumat, pengajian di majelis taklim maupun majelis zikir, atau ceramah keagamaan di sejumlah televisi.
Intinya, telah muncul rumusan teologi tentang bencana alam (tidak murni buatan manusia seperti tragedi Poso dan Maluku) yang pada akhirnya tetap terjebak di dalam dua perangkap teologis yang mengharukan: entah mengambinghitamkan korban bencana sendiri ataupun menyalahkan Tuhan yang dianggap sebagai pihak yang tak pandang ampun dan tak kenal belas kasihan menghajar hamba-hamba-Nya. Kedua kecenderungan itu rupanya juga bagian dari pandangan teologi masyarakat kita yang cenderung fatalistik.
Ketika rumusan teologis yang dikemukakan mengasumsi bahwa bencana Aceh adalah refleksi dari kemurkaan Tuhan, di situ secara eksplisit sudah terkandung nada-nada yang menyudutkan dan menyalahkan rakyat Aceh yang kini menjadi korban (blaming the victims). Sebaliknya, ketika bencana ini dianggap sebagai "ujian" Tuhan untuk umat manusia yang Dia cintai, sebagaimana yang dikatakan sejumlah kutipan kitab suci (perhatikan betapa beratnya ujian itu!), secara implisit kita juga sedang terlibat dalam proses menyalahkan Tuhan (blaming God). Kedua kecenderungan tadi tentu bukanlah rumusan teologis yang bisa dianggap elegan dan ideal tentang bencana alam.
Untuk itulah, kita diajak membuat rumusan teologis yang tidak gegabah dan potensial menambah luka dan duka rakyat Aceh sekaligus berpandangan elegan dan fair terhadap Tuhan sendiri. Itulah rumusan teologis yang sekarang sedang kita cari dan kita kehendaki.
Hanya saja, persoalannya tidaklah segampang yang kita kira. Sebagaimana dikemukakan Ulil Abshar-Abdalla dalam diskusi itu, godaan bagi agama (diwakili oleh pemuka agama ataupun juru khotbah tadi) ataupun ilmu pengetahuan untuk menjelaskan sejumlah misteri yang terkandung di dalam dunia ini teramat besar. Makanya, sejumlah misteri dan absurditas yang terkandung di dalam pelbagai peristiwa di dunia ini keduanya coba diterangkan baik oleh agama maupun ilmu pengetahuan.
Secara psikologis, manusia tidak pernah betah menjalankan hidup dengan menyisakan sejumlah misteri karena misteri adalah kegelapan. Dan, kegelapan pada hakikatnya adalah situasi yang cenderung dibenci. Untuk itu, kegelapan itu coba diterobos dan diterangi, baik dengan penjelasan ilmu pengetahuan maupun penjelasan agama atau teologi.
Tetapi, sudah nyata bahwa penjelasan ilmu pengetahuan dan penjelasan agama memang berbeda. Kita bisa memahami sebuah misteri secara lebih pasti dan dapat memverifikasinya secara ilmiah dengan perangkat dan metode yang disediakan ilmu pengetahuan. Sebaliknya, penjelasan agama tak jarang justru menjelma menjadi deretan spekulasi yang tiada henti. Dan, naifnya, kita tidak pernah kunjung bisa memverifikasi sisi kebenarannya kecuali meyakini saja. Kita sesungguhnya tidak pernah bisa menanyakan kebenaran "versi Tuhan" akan bencana Aceh, apalagi mendialogkannya secara langsung.
Karenanya, para sosiolog cenderung mengatakan bahwa "kebenaran agama" tidak pernah bisa dibuktikan dan bersifat prapengalaman. Walaupun sedang berspekulasi secara liar, dia selalu saja diimani sebagai kebenaran yang hakiki, sekalipun belum dibuktikan. Di sinilah problematisnya spekulasi- spekulasi tentang Tuhan dalam tsunami kemarin.
TIDAK seorang pun yang bisa membuktikan kalau Tuhan ikut aktif mengintervensi peristiwa tsunami yang kemarin menghantam kita. Siapa yang tahu pasti kalau hal tersebut ditujukan untuk memberi "pelajaran" kepada rakyat Aceh yang ironisnya justru taat beragama? Makanya, sembari melakukan proses evakuasi dan rehabilitasi Aceh, kita juga dipanggil untuk mencari rumusan teologi bencana alam yang lebih mengena. Sembari itu, ada baiknya kita juga tidak terlalu lancang dan sok mengerti soal apa sebenarnya yang dimaui Tuhan dari bencana ini.
Klaim atau perasaan bahwa kita tahu tentang apa yang dimaui Tuhan dalam bencana kali ini, sekalipun bersandar pada argumen dan landasan firman-Nya, sesungguhnya merupakan bentuk kesombongan yang tiada tara.
Pornografi: Soal Etika, Bukan Estetika
BENARKAH penerbitan foto-foto pamer aurat sejumlah artis model yang dikritik dan diprotes masyarakat itu pornografi? Tidak benar, bantah yang diprotes dan para pendukungnya. Para artis model yang menyediakan tubuhnya dipotret, juru fotonya, yang menerbitkan foto-foto itu, yang mendukung penerbitannya, semua mengklaim, gambar-gambar itu karya seni. Apa Anda tidak menangkap keindahan pada tubuh terbuka dengan pose mana-suka itu berkat kreativitas pencahayaan dan pencetakan yang canggih?
Para pornokrat itu juga membela dari sudut kebebasan pers. Perintah instansi kepolisian menarik peredaran majalah yang memuat foto-foto yang dipersoalkan masyarakat dianggap sebagai pelanggaran langsung atas prinsip kebebasan pers. Sejumlah orang pers sendiri mendukung anggapan terakhir ini. Argumen-argumen membela penerbitan pornografi itu umumnya lemah, namun prinsipial karena menggunakan alasan estetika dan kebebasan pers.
Estetika modernis
Sebenarnya tak ada yang baru dalam kontroversi sekitar pornografi - dari kata Yunani porne artinya 'wanita jalang' dan graphos artinya gambar atau tulisan. Sudah dapat diduga bahwa masyarakat dari berbagai kalangan akan bereaksi terhadap penerbitan gambar-gambar yang dianggap melampaui ambang rasa kesenonohan mereka. Seperti biasanya pula, menghadapi reaksi masyarakat itu, para pornokrat membela dengan menuntut definisi, apa yang seni dan apa yang pornografi? Akan tetapi apa yang membedakan foto-foto buka aurat para artis model itu dengan lukisan perempuan telanjang. Affandi misalnya? Mengapa lukisan Affandi (misalnya Telanjang/ 1947 dan Telanjang dan Dua Kucing/1952) dianggap karya seni, sedang foto-foto pose panas Sophia Latjuba dan kawan-kawan dianggap pornografi? Padahal dibandingkan lukisan perempuan telanjang Affandi yang tubuhnya tampak depan tanpa terlindung sehelai benang pun, foto-foto menantang para artis itu tidak secara langsung memperlihatkan lokasi-lokasi vital-strategisnya!
Dari dalam teori estetika, teori tradisional "standar" akan menjawab, perbedaannya terletak dalam cara bagaimana sosok perempuan dengan ketelanjangannya itu diperlakukan atau ditangkap. Kata kuncinya di sini adalah apa yang disebut "pengalaman estetik" yang dirumuskan dalam 3-D: disinterestedness (tak berpamrih), detachment (tak terserap), distance (berjarak - secara emosional). Melihat keindahan, misalnya karya Affandi contoh kita atau ciptaan alam, orang akan mendapat pengalaman estetik, pengalaman yang tak berpamrih apa-apa, tak terserap oleh obyek yang dihadapi, dan secara emosional tetap berjarak. Yang sebaliknya terjadi apabila orang melihat gambar-gambar erotis atau pornografi. Foto-foto erotik dan pornografi itu mengundang pamrih, membuat orang terlibat dan terserap.
Dalam bahasa teori, lukisan perempuan telanjang Affandi menampilkan nilai intrinsik, dan merupakan tujuan pada dirinya sendiri, lukisan Affandi membangun situasi kontemplatif pada peminatnya. Sebaliknya foto-foto panas pada artis model itu menampilkan nilai ekstrinsik, bertujuan lain di luar dirinya (promosi, meningkatkan penjualan, membangkitkan syahwat, kekerasan seksual); foto-foto panas para artis model itu membangun situasi pragmatik untuk bertindak "strategis" (menguasai, merayu, memaksa, dan seterusnya). Pernyataan pengasuh salah satu penerbitan itu "Kami punya segmen pasar sendiri", sudah menjelaskan ini.
Apakah lukisan perempuan telanjang Affandi tidak mungkin membangkitkan birahi yang melihatnya? Tentu saja mungkin dan bisa. Apabila itu terjadi, atau lukisan Affandi itu gagal sebagai karya seni, atau penonton itu sendiri belum cukup memiliki kesiapan, pengalaman, apresiasi, dan seterusnya untuk memperoleh pengalaman estetik dari melihat lukisan tersebut.
Disamping itu, sebagai karya representasional, seni lukis itu unik, sedang foto-foto perempuan model itu tidak unik. Orang dapat mencetak foto-foto para model itu seberapa pun banyaknya dengan mutu persis sama, tetapi mustahil menduplikasi lukisan telanjang Affandi tanpa kehilangan segala kualitas yang ada pada lukisan aslinya. Pada yang kedua perbanyakan bisa tetap dengan produksi, tetapi pada yang pertama perbanyakan hanya pada tingkat reproduksi. Namun seperti sudah disebutkan, itu adalah faham teori estetika standar dominan, yang kini disebut juga teori modernis. Sejak awal 1970-an faham estetika modernis itu sudah mendapat tantangan kuat dari aliran yang disebut post-modern (posmo) yang menolak pandangan estetika modernis itu.
Teori modernis, sebagai bagian dari pandangan filsafat kemajuan (progress) abad 19 yang menganggap sejarah sebagai proses kemajuan yang berlangsung linier, percaya pada peran besar seni dan seniman dalam yang disebutnya kemajuan sosial. Teori modernis dapat dianggap mencakup seni borjuis dan estetisme, dua tipologi terakhir dari empat tipologi Peter Burger yang dimulai dari Seni Sakral dan Seni Istana. Seni modern telah melepaskan diri dari institusi (gereja maupun istana), membangun wilayahnya sendiri dengan kedudukan seniman yang dianggap otonom.
Bagi estetika modernis perempuan tanpa baju (nude female) tidaklah sama dengan wanita bugil (naked woman). Lukisan Affandi adalah lukisan perempuan tanpa baju, perempuan dalam keadaan alamiah; tetapi pornografi adalah foto-foto wanita bugil atau setengah bugil, wanita yang mempertontonkan auratnya. Ketelanjangan yang diekspresikan lukisan Affandi bukan aspek seksual perempuan itu melainkan apa yang disimbolkannya (kesuburan, kelembutan, dan sebagainya); ketelanjangan yang diekspresikan pornografi adalah keperempuanan yang telah mendapat makna sosial sehari-hari (pembangkit gairah seks, komoditas yang bisa dijual, dan seterusnya). Estetika modernis membuat pagar pemisah antara yang disebut seni murni (high art) dari yang biasa-biasa atau sekadar seni pop.
Tantangan posmodern
Posmodern menolak pandangan estetika modernis itu. Posmo membongkar pagar pemisah seni tinggi dan seni pop, dan menganggap seni tidak bisa dipisahkan dari bidang-bidang kehidupan lain, ekonomi, politik, dan sosial. Apakah seni tinggi atau seni rendah, sama-sama merupakan bagian dari kecenderungan yang mendominasi kehidupan sosial.
Bagi posmodern tak masuk akal membedakan dua perempuan sama-sama terbuka auratnya, yang satu disebut perempuan dalam keadaan alamiah yang lainnya disebut wanita bugil, keduanya adalah perempuan telanjang sebagai obyek. Masalahnya bukan bahwa yang satu karya seniman yang lain bukan, melainkan bahwa perempuan-perempuan telanjang itu, sejak zaman klasik sampai ke mutakhir, ditampilkan sebagaimana lelaki ingin melihatnya. Gambar-gambar perempuan telanjang, apakah lukisan, patung, foto-foto, bagi posmo hanya menegaskan struktur masyarakat yang patriarkis. Taruhlah perempuan telanjang lukisan Affandi hendak menampilkan perempuan sebagai simbol kesuburan, tetapi siapa yang menentukan makna itu?
Karena itu bagi posmo, tak ada gunanya definisi seni, karena masalahnya bukan mendefinisikan apa itu seni, apa itu indah, melainkan siapa yang mengendalikan dan mendominasi kehidupan sosial kita. Yang terjadi selama ini adalah ideologisasi seni, dan dalam soal kontroversi pornografi masalahnya adalah eksploitasi dan marginalisasi perempuan. Ironisnya, para perempuan model itu ikut ambil bagian dalam proses penistaan martabatnya sendiri.
Seni atau bukan, bermutu atau tidaknya suatu karya, bagi posmo tidak ditentukan oleh suatu kriteria obyektif, melainkan oleh ideologi politik yang dominan. Kaum Marxis atau komunis akan membuat kriteria yang disebutnya realisme sosialis dengan semboyan seni untuk rakyat, yang lain barangkali memperjuangkan yang disebutnya humanisme universal dengan semboyan seni untuk seni. Semua aliran itu mengklaim kriterianya obyektif, tetapi sebenarnya tujuannya menyeragamkan ukuran saja.
Posmodern menolak penyeragaman. Bagi modernis kriteria estetik lebih diletakkan pada seniman, pada posmodern kriteria ada pada siapa saja. Memang kritik utama terhadap posmodern adalah relativismenya yang bahkan menjurus ke anarkisme.
Rambu etika dan justisia
Namun jelas sudah, baik estetika modernis maupun posmodern, sama-sama menolak pornografi, meski dengan alasan berbeda. Estetika modernis tegas menganggap pornografi bukan seni dan merekomendasikan agar pornografi ditiadakan atau dikontrol ketat karena secara sosial berbahaya. Estetika posmodern juga merekomendasikan pornografi dienyahkan, bukan karena pertimbangan seni atau bukan seni, melainkan karena mengeksploitasi keperempuanan sebagai komoditas, dan merendahkan martabat perempuan. Jadi pornografi tidak dapat dibela dari dalam teori estetika, lama maupun baru. Pornografi memang bukan masalah estetika, melainkan masalah etika.
Setiap masyarakat memiliki standar moralitas yang tanpa itu eksistensi masyarakat itu sendiri goyah atau bahkan berakhir. Moralitas pada dasarnya berfungsi melindungi baik dunia sosial bersama maupun dunia subyektif masing-masing individu. Tentu standar moralitas itu juga berkembang bersama perkembangan masyarakat pendukungnya. Potensi-potensi kreatif dalam masyarakat sewaktu-waktu akan tampil menawarkan alternatif, juga unsur-unsur luar akan ikut bertarung mendapatkan tempat berpijak dalam masyarakat.
Akan tetapi di pihak lain, masyarakat dan setiap anggotanya, berhak melindungi diri dan eksistensinya dari apa-apa yang dianggap immoral, baik yang sifatnya sekadar bertentangan dengan standar moralitas yang ada (seperti mempublikasikan gambar-gambar erotik dan pornografi), maupun yang dikhawatirkan dapat membawa konsekuensi fundamental terhadap tata-nilai dan tata-hubungan-sosial yang masih diakui (misalnya tuntutan melegalkan homoseksual, perkawinan sesama jenis). Realisasi hak itu adalah penggunaan institusi perangkat hukum yang ada oleh masyarakat. Inilah landasan moral pelarangan pornografi berikut ancaman sanksi hukumnya.
Dan justru karena merupakan masalah etika, pornografi tidak dapat berlindung di belakang kebebasan pers. Apa yang disebut kebebasan pers bukan kebebasan subyektif yang berkaitan dengan etika privat, melainkan kebebasan yang sifatnya politik berkaitan dengan etika sosial. Artinya, kebebasan pers tidak dapat dilepaskan dari keterikatannya pada ruang sosial bersama.
Kebebasan pers merupakan hak yang sifatnya korelatif, hak untuk terealisasinya hak lain, yaitu hak warga untuk mendapat informasi serta hak menyatakan pendapat dan mengontrol kekuasaan, kekuasaan negara atau pemerintah, tetapi juga kekuasaan masyarakat, termasuk kekuasaan pers sendiri. Jadi dasar legitimasi kebebasan pers konstruktif, tidak bisa destruktif. Adalah konstruktif, dan karenanya absah, apabila kebebasan pers digunakan membongkar kasus perkosaan, tetapi adalah destruktif apabila kebebasan pers itu digunakan menggambarkan secara sensasional bagaimana perkosaan itu berlangsung.
Kata seorang pemikir, dalam diri setiap kita bertemu konflik kehendak dan hierarki kehendak, dan moralitas dapat memberi petunjuk menentukan prioritas kehendak yang tidak konflik dengan tata-nilai yang masih diakui absah dalam dunia sosial bersama. Tetapi di tangan yang tak kompeten, kebebasan pers memang rawan penyalahgunaan. Karena itu, di samping rambu etik, yang prinsip positifnya sudah dirumuskan sendiri dalam yang disebut kode etik pers, kebebasan pers memerlukan juga kawalan rambu-rambu yustisia
Para pornokrat itu juga membela dari sudut kebebasan pers. Perintah instansi kepolisian menarik peredaran majalah yang memuat foto-foto yang dipersoalkan masyarakat dianggap sebagai pelanggaran langsung atas prinsip kebebasan pers. Sejumlah orang pers sendiri mendukung anggapan terakhir ini. Argumen-argumen membela penerbitan pornografi itu umumnya lemah, namun prinsipial karena menggunakan alasan estetika dan kebebasan pers.
Estetika modernis
Sebenarnya tak ada yang baru dalam kontroversi sekitar pornografi - dari kata Yunani porne artinya 'wanita jalang' dan graphos artinya gambar atau tulisan. Sudah dapat diduga bahwa masyarakat dari berbagai kalangan akan bereaksi terhadap penerbitan gambar-gambar yang dianggap melampaui ambang rasa kesenonohan mereka. Seperti biasanya pula, menghadapi reaksi masyarakat itu, para pornokrat membela dengan menuntut definisi, apa yang seni dan apa yang pornografi? Akan tetapi apa yang membedakan foto-foto buka aurat para artis model itu dengan lukisan perempuan telanjang. Affandi misalnya? Mengapa lukisan Affandi (misalnya Telanjang/ 1947 dan Telanjang dan Dua Kucing/1952) dianggap karya seni, sedang foto-foto pose panas Sophia Latjuba dan kawan-kawan dianggap pornografi? Padahal dibandingkan lukisan perempuan telanjang Affandi yang tubuhnya tampak depan tanpa terlindung sehelai benang pun, foto-foto menantang para artis itu tidak secara langsung memperlihatkan lokasi-lokasi vital-strategisnya!
Dari dalam teori estetika, teori tradisional "standar" akan menjawab, perbedaannya terletak dalam cara bagaimana sosok perempuan dengan ketelanjangannya itu diperlakukan atau ditangkap. Kata kuncinya di sini adalah apa yang disebut "pengalaman estetik" yang dirumuskan dalam 3-D: disinterestedness (tak berpamrih), detachment (tak terserap), distance (berjarak - secara emosional). Melihat keindahan, misalnya karya Affandi contoh kita atau ciptaan alam, orang akan mendapat pengalaman estetik, pengalaman yang tak berpamrih apa-apa, tak terserap oleh obyek yang dihadapi, dan secara emosional tetap berjarak. Yang sebaliknya terjadi apabila orang melihat gambar-gambar erotis atau pornografi. Foto-foto erotik dan pornografi itu mengundang pamrih, membuat orang terlibat dan terserap.
Dalam bahasa teori, lukisan perempuan telanjang Affandi menampilkan nilai intrinsik, dan merupakan tujuan pada dirinya sendiri, lukisan Affandi membangun situasi kontemplatif pada peminatnya. Sebaliknya foto-foto panas pada artis model itu menampilkan nilai ekstrinsik, bertujuan lain di luar dirinya (promosi, meningkatkan penjualan, membangkitkan syahwat, kekerasan seksual); foto-foto panas para artis model itu membangun situasi pragmatik untuk bertindak "strategis" (menguasai, merayu, memaksa, dan seterusnya). Pernyataan pengasuh salah satu penerbitan itu "Kami punya segmen pasar sendiri", sudah menjelaskan ini.
Apakah lukisan perempuan telanjang Affandi tidak mungkin membangkitkan birahi yang melihatnya? Tentu saja mungkin dan bisa. Apabila itu terjadi, atau lukisan Affandi itu gagal sebagai karya seni, atau penonton itu sendiri belum cukup memiliki kesiapan, pengalaman, apresiasi, dan seterusnya untuk memperoleh pengalaman estetik dari melihat lukisan tersebut.
Disamping itu, sebagai karya representasional, seni lukis itu unik, sedang foto-foto perempuan model itu tidak unik. Orang dapat mencetak foto-foto para model itu seberapa pun banyaknya dengan mutu persis sama, tetapi mustahil menduplikasi lukisan telanjang Affandi tanpa kehilangan segala kualitas yang ada pada lukisan aslinya. Pada yang kedua perbanyakan bisa tetap dengan produksi, tetapi pada yang pertama perbanyakan hanya pada tingkat reproduksi. Namun seperti sudah disebutkan, itu adalah faham teori estetika standar dominan, yang kini disebut juga teori modernis. Sejak awal 1970-an faham estetika modernis itu sudah mendapat tantangan kuat dari aliran yang disebut post-modern (posmo) yang menolak pandangan estetika modernis itu.
Teori modernis, sebagai bagian dari pandangan filsafat kemajuan (progress) abad 19 yang menganggap sejarah sebagai proses kemajuan yang berlangsung linier, percaya pada peran besar seni dan seniman dalam yang disebutnya kemajuan sosial. Teori modernis dapat dianggap mencakup seni borjuis dan estetisme, dua tipologi terakhir dari empat tipologi Peter Burger yang dimulai dari Seni Sakral dan Seni Istana. Seni modern telah melepaskan diri dari institusi (gereja maupun istana), membangun wilayahnya sendiri dengan kedudukan seniman yang dianggap otonom.
Bagi estetika modernis perempuan tanpa baju (nude female) tidaklah sama dengan wanita bugil (naked woman). Lukisan Affandi adalah lukisan perempuan tanpa baju, perempuan dalam keadaan alamiah; tetapi pornografi adalah foto-foto wanita bugil atau setengah bugil, wanita yang mempertontonkan auratnya. Ketelanjangan yang diekspresikan lukisan Affandi bukan aspek seksual perempuan itu melainkan apa yang disimbolkannya (kesuburan, kelembutan, dan sebagainya); ketelanjangan yang diekspresikan pornografi adalah keperempuanan yang telah mendapat makna sosial sehari-hari (pembangkit gairah seks, komoditas yang bisa dijual, dan seterusnya). Estetika modernis membuat pagar pemisah antara yang disebut seni murni (high art) dari yang biasa-biasa atau sekadar seni pop.
Tantangan posmodern
Posmodern menolak pandangan estetika modernis itu. Posmo membongkar pagar pemisah seni tinggi dan seni pop, dan menganggap seni tidak bisa dipisahkan dari bidang-bidang kehidupan lain, ekonomi, politik, dan sosial. Apakah seni tinggi atau seni rendah, sama-sama merupakan bagian dari kecenderungan yang mendominasi kehidupan sosial.
Bagi posmodern tak masuk akal membedakan dua perempuan sama-sama terbuka auratnya, yang satu disebut perempuan dalam keadaan alamiah yang lainnya disebut wanita bugil, keduanya adalah perempuan telanjang sebagai obyek. Masalahnya bukan bahwa yang satu karya seniman yang lain bukan, melainkan bahwa perempuan-perempuan telanjang itu, sejak zaman klasik sampai ke mutakhir, ditampilkan sebagaimana lelaki ingin melihatnya. Gambar-gambar perempuan telanjang, apakah lukisan, patung, foto-foto, bagi posmo hanya menegaskan struktur masyarakat yang patriarkis. Taruhlah perempuan telanjang lukisan Affandi hendak menampilkan perempuan sebagai simbol kesuburan, tetapi siapa yang menentukan makna itu?
Karena itu bagi posmo, tak ada gunanya definisi seni, karena masalahnya bukan mendefinisikan apa itu seni, apa itu indah, melainkan siapa yang mengendalikan dan mendominasi kehidupan sosial kita. Yang terjadi selama ini adalah ideologisasi seni, dan dalam soal kontroversi pornografi masalahnya adalah eksploitasi dan marginalisasi perempuan. Ironisnya, para perempuan model itu ikut ambil bagian dalam proses penistaan martabatnya sendiri.
Seni atau bukan, bermutu atau tidaknya suatu karya, bagi posmo tidak ditentukan oleh suatu kriteria obyektif, melainkan oleh ideologi politik yang dominan. Kaum Marxis atau komunis akan membuat kriteria yang disebutnya realisme sosialis dengan semboyan seni untuk rakyat, yang lain barangkali memperjuangkan yang disebutnya humanisme universal dengan semboyan seni untuk seni. Semua aliran itu mengklaim kriterianya obyektif, tetapi sebenarnya tujuannya menyeragamkan ukuran saja.
Posmodern menolak penyeragaman. Bagi modernis kriteria estetik lebih diletakkan pada seniman, pada posmodern kriteria ada pada siapa saja. Memang kritik utama terhadap posmodern adalah relativismenya yang bahkan menjurus ke anarkisme.
Rambu etika dan justisia
Namun jelas sudah, baik estetika modernis maupun posmodern, sama-sama menolak pornografi, meski dengan alasan berbeda. Estetika modernis tegas menganggap pornografi bukan seni dan merekomendasikan agar pornografi ditiadakan atau dikontrol ketat karena secara sosial berbahaya. Estetika posmodern juga merekomendasikan pornografi dienyahkan, bukan karena pertimbangan seni atau bukan seni, melainkan karena mengeksploitasi keperempuanan sebagai komoditas, dan merendahkan martabat perempuan. Jadi pornografi tidak dapat dibela dari dalam teori estetika, lama maupun baru. Pornografi memang bukan masalah estetika, melainkan masalah etika.
Setiap masyarakat memiliki standar moralitas yang tanpa itu eksistensi masyarakat itu sendiri goyah atau bahkan berakhir. Moralitas pada dasarnya berfungsi melindungi baik dunia sosial bersama maupun dunia subyektif masing-masing individu. Tentu standar moralitas itu juga berkembang bersama perkembangan masyarakat pendukungnya. Potensi-potensi kreatif dalam masyarakat sewaktu-waktu akan tampil menawarkan alternatif, juga unsur-unsur luar akan ikut bertarung mendapatkan tempat berpijak dalam masyarakat.
Akan tetapi di pihak lain, masyarakat dan setiap anggotanya, berhak melindungi diri dan eksistensinya dari apa-apa yang dianggap immoral, baik yang sifatnya sekadar bertentangan dengan standar moralitas yang ada (seperti mempublikasikan gambar-gambar erotik dan pornografi), maupun yang dikhawatirkan dapat membawa konsekuensi fundamental terhadap tata-nilai dan tata-hubungan-sosial yang masih diakui (misalnya tuntutan melegalkan homoseksual, perkawinan sesama jenis). Realisasi hak itu adalah penggunaan institusi perangkat hukum yang ada oleh masyarakat. Inilah landasan moral pelarangan pornografi berikut ancaman sanksi hukumnya.
Dan justru karena merupakan masalah etika, pornografi tidak dapat berlindung di belakang kebebasan pers. Apa yang disebut kebebasan pers bukan kebebasan subyektif yang berkaitan dengan etika privat, melainkan kebebasan yang sifatnya politik berkaitan dengan etika sosial. Artinya, kebebasan pers tidak dapat dilepaskan dari keterikatannya pada ruang sosial bersama.
Kebebasan pers merupakan hak yang sifatnya korelatif, hak untuk terealisasinya hak lain, yaitu hak warga untuk mendapat informasi serta hak menyatakan pendapat dan mengontrol kekuasaan, kekuasaan negara atau pemerintah, tetapi juga kekuasaan masyarakat, termasuk kekuasaan pers sendiri. Jadi dasar legitimasi kebebasan pers konstruktif, tidak bisa destruktif. Adalah konstruktif, dan karenanya absah, apabila kebebasan pers digunakan membongkar kasus perkosaan, tetapi adalah destruktif apabila kebebasan pers itu digunakan menggambarkan secara sensasional bagaimana perkosaan itu berlangsung.
Kata seorang pemikir, dalam diri setiap kita bertemu konflik kehendak dan hierarki kehendak, dan moralitas dapat memberi petunjuk menentukan prioritas kehendak yang tidak konflik dengan tata-nilai yang masih diakui absah dalam dunia sosial bersama. Tetapi di tangan yang tak kompeten, kebebasan pers memang rawan penyalahgunaan. Karena itu, di samping rambu etik, yang prinsip positifnya sudah dirumuskan sendiri dalam yang disebut kode etik pers, kebebasan pers memerlukan juga kawalan rambu-rambu yustisia
Petaka Pendidikan Nasional
Dua kali ujian nasional pada 2006 memberi kejutan. Pertama, ketika angka kelulusan melonjak luar biasa. Pada tingkat sekolah menengah atas, dari 80,76 persen naik menjadi 92,50 persen, dan madrasah aliyah, dari 80,73 persen menjadi 90,82 persen. Adapun untuk sekolah menengah kejuruan, dari 78,29 persen menjadi 91,00 persen. Kedua, pengakuan guru dan murid dari berbagai daerah bahwa mereka telah melakukan dan menyaksikan kecurangan dalam penyelenggaraan ujian nasional.
Bagian pertama menjelaskan hasil, bagian kedua menjelaskan proses. Hasil ujian nasi0nal yang gilang gemilang dan telanjur membuat bangga pemerintah ternyata didapat dari proses manipulatif. Karena itu, para guru yang mengetahui proses memperingatkan pemerintah agar tidak menjadikan tingginya persentase kelulusan sebagai indikator peningkatan mutu pendidikan nasional.
Para guru bukannya tidak mengetahui risiko atas apa yang dilakukannya, tapi nurani mereka berontak. Selama empat kali pelaksanaan ujian nasional, harus diam dan terus membodohi diri sendiri hanya untuk memuaskan kepentingan atasan. Selain itu, ujian nasional telah merampas hak pedagogis dalam menentukan kelulusan. Mereka yang mengetahui seluk-beluk mengenai murid, tapi kemudian pemerintah yang memutuskan siapa yang berhak atau tidak berhak lulus. Intervensi tersebut jelas menggambarkan rendahnya kadar kepercayaan pemerintah terhadap guru.
Apa yang diungkapkan oleh para guru sungguh mencengangkan. Ujian nasional, yang oleh pemerintah diharapkan mampu mendorong murid agar belajar lebih giat, ternyata dimanipulasi secara sistemik. Setidaknya ada tiga modus yang digunakan dalam kecurangan ujian nasional dan ketiganya memposisikan guru sebagai operator. Pertama, sebelum ujian nasional dilaksanakan. Cara yang dipakai dengan membocorkan soal. Misalnya pengakuan murid di Garut, mereka diperintahkan datang lebih awal ke sekolah agar bisa memperoleh jawaban dari guru.
Kedua, jawaban dibuat pada saat ujian. Biasanya dilakukan oleh tim, yang berisi guru bidang studi. Proses distribusi jawaban bervariasi, ada yang menggunakan telepon seluler, seperti yang terjadi di Cilegon. Dalam satu kelas, satu atau dua murid dijadikan sebagai simpul. Mereka bertugas menerima dan membagikan jawaban kepada yang lain melalui kode tertentu. Ada pula yang memakai kertas kecil atau kertas unyil. Murid mengambilnya di tempat yang sudah disepakati dengan tim.
Ketiga, tim bekerja setelah ujian nasional selesai. Biasanya murid diminta tidak menjawab pertanyaan yang dianggap sulit karena nantinya tim yang akan mengisi. Tapi ada pula yang membiarkan murid menjawab. Apabila salah, tugas tim yang akan membetulkan. Walau lokasi kecurangan umumnya terjadi di sekolah, bukan berarti Departemen Pendidikan Nasional bisa lepas tanggung jawab. Sebab, sumber masalahnya ada pada kebijakan ujian nasional. Melalui ujian nasional, pemerintah telah melakukan re-sentralisasi pendidikan, padahal di sisi lain, pelayanan dan pembiayaan cenderung didesentralisasi.
Dasar resentralisasi adalah asumsi bahwa biang keladi buruknya mutu pendidikan adalah guru dan murid malas belajar. Agar mereka rajin, penentuan kelulusan harus diambil alih. Padahal pemerintah sendiri telah gagal dalam menjalankan kewajiban menyediakan layanan pendidikan bermutu, yang membuat guru dan murid tidak nyaman dalam menjalankan proses belajar-mengajar. Melalui kebijakan ujian nasional, daerah dan sekolah dipaksa membenarkan asumsi pemerintah. Padahal kondisinya tidak memungkinkan untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pelayanan pendidikan di daerah umumnya masih buruk. Karena itu, dipilih cara instan, yaitu dengan melakukan manipulasi. Apalagi hasil ujian nasional juga mempertaruhkan citra daerah dan sekolah.
Tidak mengherankan apabila terjadi penekanan secara berjenjang. Pemerintah daerah yang merasa tertekan pemerintah pusat akan menekan sekolah. Ambil contoh di Garut. Bupati mengancam akan memutasi kepala sekolah yang kelulusan muridnya di bawah 95 persen (Republika, 17 Mei 2006). Dengan demikian, ujian nasional sudah tidak lagi berhubungan dengan kepentingan pendidikan, tapi telah menjadi alat untuk mencapai kepentingan politik. Satu sisi bisa memuaskan kebutuhan pemerintah pusat, pada sisi lain mempermanis wajah birokrasi daerah supaya dianggap berhasil memajukan pendidikan.
Pada akhirnya, kebijakan ujian nasional kontraproduktif bagi pendidikan nasional. Tujuan yang ingin dicapai gagal total, sedangkan yang didapat hanyalah masalah. Kecurangan sistemik tidak hanya mengaburkan pemetaan mengenai kondisi pendidikan nasional, tapi juga berdampak buruk bagi guru dan murid. Kreativitas murid terkungkung. Mereka dipaksa mengalokasikan porsi belajar lebih besar pada mata pelajaran pilihan pemerintah. Padahal tujuan pendidikan sesungguhnya adalah membentuk manusia cerdas, penuh kreativitas, dan mandiri serta dapat mengatasi segala persoalan yang dihadapi. Semua tujuan ini akan tercapai jika murid diberi banyak waktu dan kesempatan untuk mengaktualisasi dirinya dalam berbagai macam pelajaran yang ada di sekolah.
Selain itu, atas alasan gengsi daerah dan sekolah serta memuaskan pemerintah pusat, semangat belajar dan bekerja keras para murid dan guru telah dihancurkan. Tidak ada lagi penghargaan bagi mereka yang mau bersusah payah belajar, karena semuanya sudah diambil alih oleh tim sukses ujian nasional. Dampak paling berbahaya adalah tertanamnya mental terabas di kalangan murid. Lewat kecurangan, mereka secara tidak langsung telah diajari agar tidak lagi menghargai proses. Cara apa pun boleh digunakan, halal ataupun haram, asalkan tujuan bisa tercapai. Tentu saja kondisi ini bertolak belakang dengan tujuan pendidikan.
Karena itu, apabila yang dijadikan solusi hanyalah menghukum atau memberi sanksi kepada daerah atau sekolah yang curang, masalah tidak akan selesai. Justru yang harus dilakukan pemerintah adalah menghilangkan akar masalah utamanya, yaitu kebijakan ujian nasional. Pemerintah harus mulai mengubah mental terabas dengan mental kerja keras. Apabila menginginkan mutu pendidikan bagus, harus dimulai dengan memberi pelayanan yang bagus pula.
Bagian pertama menjelaskan hasil, bagian kedua menjelaskan proses. Hasil ujian nasi0nal yang gilang gemilang dan telanjur membuat bangga pemerintah ternyata didapat dari proses manipulatif. Karena itu, para guru yang mengetahui proses memperingatkan pemerintah agar tidak menjadikan tingginya persentase kelulusan sebagai indikator peningkatan mutu pendidikan nasional.
Para guru bukannya tidak mengetahui risiko atas apa yang dilakukannya, tapi nurani mereka berontak. Selama empat kali pelaksanaan ujian nasional, harus diam dan terus membodohi diri sendiri hanya untuk memuaskan kepentingan atasan. Selain itu, ujian nasional telah merampas hak pedagogis dalam menentukan kelulusan. Mereka yang mengetahui seluk-beluk mengenai murid, tapi kemudian pemerintah yang memutuskan siapa yang berhak atau tidak berhak lulus. Intervensi tersebut jelas menggambarkan rendahnya kadar kepercayaan pemerintah terhadap guru.
Apa yang diungkapkan oleh para guru sungguh mencengangkan. Ujian nasional, yang oleh pemerintah diharapkan mampu mendorong murid agar belajar lebih giat, ternyata dimanipulasi secara sistemik. Setidaknya ada tiga modus yang digunakan dalam kecurangan ujian nasional dan ketiganya memposisikan guru sebagai operator. Pertama, sebelum ujian nasional dilaksanakan. Cara yang dipakai dengan membocorkan soal. Misalnya pengakuan murid di Garut, mereka diperintahkan datang lebih awal ke sekolah agar bisa memperoleh jawaban dari guru.
Kedua, jawaban dibuat pada saat ujian. Biasanya dilakukan oleh tim, yang berisi guru bidang studi. Proses distribusi jawaban bervariasi, ada yang menggunakan telepon seluler, seperti yang terjadi di Cilegon. Dalam satu kelas, satu atau dua murid dijadikan sebagai simpul. Mereka bertugas menerima dan membagikan jawaban kepada yang lain melalui kode tertentu. Ada pula yang memakai kertas kecil atau kertas unyil. Murid mengambilnya di tempat yang sudah disepakati dengan tim.
Ketiga, tim bekerja setelah ujian nasional selesai. Biasanya murid diminta tidak menjawab pertanyaan yang dianggap sulit karena nantinya tim yang akan mengisi. Tapi ada pula yang membiarkan murid menjawab. Apabila salah, tugas tim yang akan membetulkan. Walau lokasi kecurangan umumnya terjadi di sekolah, bukan berarti Departemen Pendidikan Nasional bisa lepas tanggung jawab. Sebab, sumber masalahnya ada pada kebijakan ujian nasional. Melalui ujian nasional, pemerintah telah melakukan re-sentralisasi pendidikan, padahal di sisi lain, pelayanan dan pembiayaan cenderung didesentralisasi.
Dasar resentralisasi adalah asumsi bahwa biang keladi buruknya mutu pendidikan adalah guru dan murid malas belajar. Agar mereka rajin, penentuan kelulusan harus diambil alih. Padahal pemerintah sendiri telah gagal dalam menjalankan kewajiban menyediakan layanan pendidikan bermutu, yang membuat guru dan murid tidak nyaman dalam menjalankan proses belajar-mengajar. Melalui kebijakan ujian nasional, daerah dan sekolah dipaksa membenarkan asumsi pemerintah. Padahal kondisinya tidak memungkinkan untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pelayanan pendidikan di daerah umumnya masih buruk. Karena itu, dipilih cara instan, yaitu dengan melakukan manipulasi. Apalagi hasil ujian nasional juga mempertaruhkan citra daerah dan sekolah.
Tidak mengherankan apabila terjadi penekanan secara berjenjang. Pemerintah daerah yang merasa tertekan pemerintah pusat akan menekan sekolah. Ambil contoh di Garut. Bupati mengancam akan memutasi kepala sekolah yang kelulusan muridnya di bawah 95 persen (Republika, 17 Mei 2006). Dengan demikian, ujian nasional sudah tidak lagi berhubungan dengan kepentingan pendidikan, tapi telah menjadi alat untuk mencapai kepentingan politik. Satu sisi bisa memuaskan kebutuhan pemerintah pusat, pada sisi lain mempermanis wajah birokrasi daerah supaya dianggap berhasil memajukan pendidikan.
Pada akhirnya, kebijakan ujian nasional kontraproduktif bagi pendidikan nasional. Tujuan yang ingin dicapai gagal total, sedangkan yang didapat hanyalah masalah. Kecurangan sistemik tidak hanya mengaburkan pemetaan mengenai kondisi pendidikan nasional, tapi juga berdampak buruk bagi guru dan murid. Kreativitas murid terkungkung. Mereka dipaksa mengalokasikan porsi belajar lebih besar pada mata pelajaran pilihan pemerintah. Padahal tujuan pendidikan sesungguhnya adalah membentuk manusia cerdas, penuh kreativitas, dan mandiri serta dapat mengatasi segala persoalan yang dihadapi. Semua tujuan ini akan tercapai jika murid diberi banyak waktu dan kesempatan untuk mengaktualisasi dirinya dalam berbagai macam pelajaran yang ada di sekolah.
Selain itu, atas alasan gengsi daerah dan sekolah serta memuaskan pemerintah pusat, semangat belajar dan bekerja keras para murid dan guru telah dihancurkan. Tidak ada lagi penghargaan bagi mereka yang mau bersusah payah belajar, karena semuanya sudah diambil alih oleh tim sukses ujian nasional. Dampak paling berbahaya adalah tertanamnya mental terabas di kalangan murid. Lewat kecurangan, mereka secara tidak langsung telah diajari agar tidak lagi menghargai proses. Cara apa pun boleh digunakan, halal ataupun haram, asalkan tujuan bisa tercapai. Tentu saja kondisi ini bertolak belakang dengan tujuan pendidikan.
Karena itu, apabila yang dijadikan solusi hanyalah menghukum atau memberi sanksi kepada daerah atau sekolah yang curang, masalah tidak akan selesai. Justru yang harus dilakukan pemerintah adalah menghilangkan akar masalah utamanya, yaitu kebijakan ujian nasional. Pemerintah harus mulai mengubah mental terabas dengan mental kerja keras. Apabila menginginkan mutu pendidikan bagus, harus dimulai dengan memberi pelayanan yang bagus pula.
Yang Terlewatkan dalam Pendidikan
ADA kesan kuat, baik guru, orangtua, maupun murid, selalu didorong untuk mengejar dan menghimpun informasi keilmuan sebanyak mungkin, namun melupakan aspek pendidikan yang fundamental, yaitu bagaimana menjalani hidup dengan terhormat. Salah satu penyebab merebaknya korupsi ialah gagalnya dunia pendidikan dalam pembentukan karakter agar hidup selalu dipandu nurani.
Pagi-pagi, seorang ibu dan anaknya dengan wajah tegang menuju rumah seorang aparat pemerintah. Pertemuan itu tak lebih dari 10 menit. Ibu dan anak pamit, dan pulang dengan wajah ceria. Keceriaan disampaikan kepada ayahnya melalui telepon. Apa yang terjadi?
Rupanya ibu dan anak itu berhasil memperoleh bocoran soal ujian setelah membayar sejumlah uang. Apa yang signifikan dari peristiwa ini? Jika peristiwa itu direnungkan, suatu hal amat jelas. Orangtua telah menanamkan virus kehidupan kepada anak bahwa sukses bisa dibeli dengan uang, dengan menyogok, dan semua itu seolah sah-sah saja. Peristiwa itu juga menggoreskan catatan seumur hidup di hati anak. Pagi itu, orangtua telah merobohkan prinsip kejujuran. Akibatnya, jika suatu saat orang atau guru mengajarkan nilai-nilai kejujuran, anak akan menilai semua itu bisa ditawar. Singkatnya, secara moral orangtua tidak lagi punya wibawa untuk mengajarkan kejujuran di mata anaknya.
Belum lama ini saya dibuat tercenung membaca Pojok Kompas (15/1). Tertulis: "Kelulusan 322 calon PNS di Departemen Agama dibatalkan sebab yang bersangkutan tak ikut tes". Di lingkungan Depag, juga di departemen lain, kecurangan seperti ini bukan hal baru. Namun saat korupsi terjadi di Depag, implikasi moral politiknya lebih besar karena bisa mengarah pada logika bahwa Depag yang mestinya berperan sebagai "sapu yang bersih" telah terseret dan menyatu bersama sampah yang hendak dibersihkan.
Pendidikan berbasis karakter
Pendidikan adalah usaha sistematis dengan penuh kasih untuk membangun peradaban bangsa. Di balik sukses ekonomi dan teknologi yang ditunjukkan negara-negara maju, semua itu semula disemangati nilai-nilai kemanusiaan agar kehidupan bisa dijalani lebih mudah, lebih produktif, dan lebih bermakna. Namun banyak masyarakat yang lalu gagal menjaga komitmen kemanusiaannya setelah sukses di bidang materi, yang oleh John Naisbit diistilahkan High-Tech, Low-Touch. Yaitu gaya hidup yang selalu mengejar sukses materi, tetapi tidak disertai dengan pemaknaan hidup yang dalam. Akibatnya, orang lalu menitipkan harga dirinya pada jabatan dan materi yang menempel, tetapi kepribadiannya keropos.
Seseorang merasa diri hebat dan berharga bukan karena kualitas pribadinya, tetapi jabatan dan kekayaan, meski diraih dengan cara tidak terhormat. Pribadi semacam ini oleh Erich Fromm disebut having oriented, bukan being oriented, pribadi yang obsesif untuk selalu mengejar harta dan status, tetapi tidak peduli pada pengembangan kualitas moral.
Ketika pendidikan tidak lagi menempatkan prinsip-prinsip moralitas agung sebagai basisnya, maka yang akan dihasilkan adalah orang yang selalu mengejar materi untuk memenuhi tuntutan physical happiness yang durasinya hanya sesaat dan potensial membunuh nalar sehat dan nurani. Padahal, aktualisasi nilai kemanusiaan membutuhkan perjuangan hidup sehingga seseorang akan merasa lebih berharga dan bahagia saat mampu meraih kebahagiaan nonmateri, yaitu intellectual happiness, aesthetical happiness, moral happiness ,dan spiritual happiness. Pendidikan yang sehat adalah yang secara sadar membantu anak didik bisa merasakan, menghayati, dan menghargai jenjang makna hidup dari yang bersifat fisikal sampai yang moral, estetikal, dan spiritual. Peradaban dunia selalu dibangun oleh tokoh-tokoh moral-spiritual, yang dihancurkan politisi dan teknokrat yang mabuk kekuasaan.
Selama ini produk pendidikan amat kurang membantu pertumbuhan spiritualitas anak sehingga mereka sulit mengagumi keramahan langit terhadap bumi, gemercik air, festival awan, kekompakan hidup dunia semut, dan perilaku alam lain yang semua itu merupakan ayat-ayat Tuhan dan bacaan terbuka yang amat indah. Ini semua disebabkan kesalahan proses pendidikan yang kita dapat, yang hampir melupakan dimensi akal budi dan emosi serta tidak memandang alam sebagai entitas yang hidup.
Sebenarnya tak ada benda mati di hadapan orang yang akal budinya hidup. Terlebih di hadapan Tuhan, semuanya hidup dan bekerja atas perintah-Nya karena tercipta bukan tanpa tujuan. Pendidikan kita kurang mengajarkan bagaimana bersahabat dan berdialog dengan kehidupan secara menyeluruh.
Sebuah kasus menarik saat bencana tsunami di Aceh, hampir tidak ditemukan bangkai sapi atau kerbau dan hewan lain karena semuanya telah menyelamatkan diri. Hewan-hewan itu memiliki kepekaan dan mampu berdialog dengan sesama penghuni bumi saat bahaya akan datang. Kalaupun ada yang mati, itu lebih dikarenakan hewan-hewan itu kurang makan atau terjebak di kandang.
Belajar dan mengajar dengan hati
Seiring munculnya kesadaran dan tuntutan moral dalam dunia bisnis, dalam dunia pendidikan juga muncul gerakan baru untuk melibatkan emosi dan nurani dalam proses pembelajaran. Dipopulerkan oleh Danah Zohar, Ian Marshall, dan Daniel Golleman, literatur seputar betapa vitalnya dimensi spiritual dan emosional dalam kerja dan belajar kian diapresiasi kalangan eksekutif muda dan praktisi pendidikan. Misalnya, Training ESQ- Leadership yang dimotori Ary Ginanjar mendapat sambutan masyarakat.
Pelatihan ini menghasilkan lebih dari 50.000 alumni, tersebar di seluruh perusahaan di Indonesia, dan tiap bulan bertambah sedikitnya 7.000. Bahkan training ini telah masuk kurikulum SESKOAD Bandung. Fenomena ini tentu amat menggembirakan, sebuah kebangkitan kesadaran etis dan spiritual dalam upaya membangun bangsa yang bermartabat serta mendorong lahirnya generasi baru yang setia dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan dan ketuhanan.
Ada beberapa buku yang sebaiknya dibaca para guru, misalnya karya-karya Eric Jensen, Thomas Armstrong, dan Dave Meier soal bagaimana menciptakan proses dan suasana pembelajaran dengan mengacu pada sifat otak dan emosi (brain based learning) sehingga suasana belajar menjadi nyaman, kreatif, dan kontemplatif. Pembelajaran yang menjadikan siswa sebagai subyek, di mana anak-anak itu memiliki nurani dan potensi multikecerdasan, namun belum tergali dan teraktualisasi. Dengan demikian, proses pembelajaran sebaiknya dimulai dengan melihat, mengamati, dan merasakan lingkungan sosial yang dihadapi, guru dan murid berempati menjadi bagian integral dari realitas sosial dan semesta. Dari situ keilmuan dibangun untuk membantu memecahkan problem kemanusiaan.
Semua ilmu pengetahuan awalnya adalah produk kegelisahan akal budi dan nurani guna meringankan beban hidup manusia. Celakanya, banyak kaum profesional dan birokrat yang dengan ilmu dan jabatannya malah menjadi penindas rakyat. Rakyat amat merindukan pemimpin, birokrat, dan pelaku pasar yang senantiasa mempertahankan prinsip hidup terhormat, hidup yang dipimpin suara hati, meski bisa jadi harus siap hidup sederhana. Itu semua harus dimulai dari pendidikan keluarga dan sekolah yang menjunjung tinggi pendidikan karakter.
Pagi-pagi, seorang ibu dan anaknya dengan wajah tegang menuju rumah seorang aparat pemerintah. Pertemuan itu tak lebih dari 10 menit. Ibu dan anak pamit, dan pulang dengan wajah ceria. Keceriaan disampaikan kepada ayahnya melalui telepon. Apa yang terjadi?
Rupanya ibu dan anak itu berhasil memperoleh bocoran soal ujian setelah membayar sejumlah uang. Apa yang signifikan dari peristiwa ini? Jika peristiwa itu direnungkan, suatu hal amat jelas. Orangtua telah menanamkan virus kehidupan kepada anak bahwa sukses bisa dibeli dengan uang, dengan menyogok, dan semua itu seolah sah-sah saja. Peristiwa itu juga menggoreskan catatan seumur hidup di hati anak. Pagi itu, orangtua telah merobohkan prinsip kejujuran. Akibatnya, jika suatu saat orang atau guru mengajarkan nilai-nilai kejujuran, anak akan menilai semua itu bisa ditawar. Singkatnya, secara moral orangtua tidak lagi punya wibawa untuk mengajarkan kejujuran di mata anaknya.
Belum lama ini saya dibuat tercenung membaca Pojok Kompas (15/1). Tertulis: "Kelulusan 322 calon PNS di Departemen Agama dibatalkan sebab yang bersangkutan tak ikut tes". Di lingkungan Depag, juga di departemen lain, kecurangan seperti ini bukan hal baru. Namun saat korupsi terjadi di Depag, implikasi moral politiknya lebih besar karena bisa mengarah pada logika bahwa Depag yang mestinya berperan sebagai "sapu yang bersih" telah terseret dan menyatu bersama sampah yang hendak dibersihkan.
Pendidikan berbasis karakter
Pendidikan adalah usaha sistematis dengan penuh kasih untuk membangun peradaban bangsa. Di balik sukses ekonomi dan teknologi yang ditunjukkan negara-negara maju, semua itu semula disemangati nilai-nilai kemanusiaan agar kehidupan bisa dijalani lebih mudah, lebih produktif, dan lebih bermakna. Namun banyak masyarakat yang lalu gagal menjaga komitmen kemanusiaannya setelah sukses di bidang materi, yang oleh John Naisbit diistilahkan High-Tech, Low-Touch. Yaitu gaya hidup yang selalu mengejar sukses materi, tetapi tidak disertai dengan pemaknaan hidup yang dalam. Akibatnya, orang lalu menitipkan harga dirinya pada jabatan dan materi yang menempel, tetapi kepribadiannya keropos.
Seseorang merasa diri hebat dan berharga bukan karena kualitas pribadinya, tetapi jabatan dan kekayaan, meski diraih dengan cara tidak terhormat. Pribadi semacam ini oleh Erich Fromm disebut having oriented, bukan being oriented, pribadi yang obsesif untuk selalu mengejar harta dan status, tetapi tidak peduli pada pengembangan kualitas moral.
Ketika pendidikan tidak lagi menempatkan prinsip-prinsip moralitas agung sebagai basisnya, maka yang akan dihasilkan adalah orang yang selalu mengejar materi untuk memenuhi tuntutan physical happiness yang durasinya hanya sesaat dan potensial membunuh nalar sehat dan nurani. Padahal, aktualisasi nilai kemanusiaan membutuhkan perjuangan hidup sehingga seseorang akan merasa lebih berharga dan bahagia saat mampu meraih kebahagiaan nonmateri, yaitu intellectual happiness, aesthetical happiness, moral happiness ,dan spiritual happiness. Pendidikan yang sehat adalah yang secara sadar membantu anak didik bisa merasakan, menghayati, dan menghargai jenjang makna hidup dari yang bersifat fisikal sampai yang moral, estetikal, dan spiritual. Peradaban dunia selalu dibangun oleh tokoh-tokoh moral-spiritual, yang dihancurkan politisi dan teknokrat yang mabuk kekuasaan.
Selama ini produk pendidikan amat kurang membantu pertumbuhan spiritualitas anak sehingga mereka sulit mengagumi keramahan langit terhadap bumi, gemercik air, festival awan, kekompakan hidup dunia semut, dan perilaku alam lain yang semua itu merupakan ayat-ayat Tuhan dan bacaan terbuka yang amat indah. Ini semua disebabkan kesalahan proses pendidikan yang kita dapat, yang hampir melupakan dimensi akal budi dan emosi serta tidak memandang alam sebagai entitas yang hidup.
Sebenarnya tak ada benda mati di hadapan orang yang akal budinya hidup. Terlebih di hadapan Tuhan, semuanya hidup dan bekerja atas perintah-Nya karena tercipta bukan tanpa tujuan. Pendidikan kita kurang mengajarkan bagaimana bersahabat dan berdialog dengan kehidupan secara menyeluruh.
Sebuah kasus menarik saat bencana tsunami di Aceh, hampir tidak ditemukan bangkai sapi atau kerbau dan hewan lain karena semuanya telah menyelamatkan diri. Hewan-hewan itu memiliki kepekaan dan mampu berdialog dengan sesama penghuni bumi saat bahaya akan datang. Kalaupun ada yang mati, itu lebih dikarenakan hewan-hewan itu kurang makan atau terjebak di kandang.
Belajar dan mengajar dengan hati
Seiring munculnya kesadaran dan tuntutan moral dalam dunia bisnis, dalam dunia pendidikan juga muncul gerakan baru untuk melibatkan emosi dan nurani dalam proses pembelajaran. Dipopulerkan oleh Danah Zohar, Ian Marshall, dan Daniel Golleman, literatur seputar betapa vitalnya dimensi spiritual dan emosional dalam kerja dan belajar kian diapresiasi kalangan eksekutif muda dan praktisi pendidikan. Misalnya, Training ESQ- Leadership yang dimotori Ary Ginanjar mendapat sambutan masyarakat.
Pelatihan ini menghasilkan lebih dari 50.000 alumni, tersebar di seluruh perusahaan di Indonesia, dan tiap bulan bertambah sedikitnya 7.000. Bahkan training ini telah masuk kurikulum SESKOAD Bandung. Fenomena ini tentu amat menggembirakan, sebuah kebangkitan kesadaran etis dan spiritual dalam upaya membangun bangsa yang bermartabat serta mendorong lahirnya generasi baru yang setia dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan dan ketuhanan.
Ada beberapa buku yang sebaiknya dibaca para guru, misalnya karya-karya Eric Jensen, Thomas Armstrong, dan Dave Meier soal bagaimana menciptakan proses dan suasana pembelajaran dengan mengacu pada sifat otak dan emosi (brain based learning) sehingga suasana belajar menjadi nyaman, kreatif, dan kontemplatif. Pembelajaran yang menjadikan siswa sebagai subyek, di mana anak-anak itu memiliki nurani dan potensi multikecerdasan, namun belum tergali dan teraktualisasi. Dengan demikian, proses pembelajaran sebaiknya dimulai dengan melihat, mengamati, dan merasakan lingkungan sosial yang dihadapi, guru dan murid berempati menjadi bagian integral dari realitas sosial dan semesta. Dari situ keilmuan dibangun untuk membantu memecahkan problem kemanusiaan.
Semua ilmu pengetahuan awalnya adalah produk kegelisahan akal budi dan nurani guna meringankan beban hidup manusia. Celakanya, banyak kaum profesional dan birokrat yang dengan ilmu dan jabatannya malah menjadi penindas rakyat. Rakyat amat merindukan pemimpin, birokrat, dan pelaku pasar yang senantiasa mempertahankan prinsip hidup terhormat, hidup yang dipimpin suara hati, meski bisa jadi harus siap hidup sederhana. Itu semua harus dimulai dari pendidikan keluarga dan sekolah yang menjunjung tinggi pendidikan karakter.
Yang Terbaik untuk Anak
SERIAL Harry Potter (semula) tidak diterbitkan dalam versi braille. Akibatnya, sejumlah kalangan di Inggris memprotes penerbit karena dinilai melakukan diskriminasi terhadap anak-anak yang memiliki gangguan penglihatan. Penerbit lalu berjanji akan segera menerbitkannya dalam dua minggu.
Demikian sekilas abstraksi penerapan hak anak di Inggris. Hingga tahun lalu, tercatat empat juta anak di Inggris hidup dalam kemiskinan (End Child Poverty, edisi April 2002). Ini adalah angka tertinggi di kalangan negara industri maju lainnya. Namun, kesungguhan negara ini mengurus masalah anak ditandai upaya mengintegrasikan perlindungan hak anak dengan program menghapus kemiskinan anak. Strateginya antara lain dengan mendorong implementasi Children Budget’s Year oleh kelompok kerja parlemen (All Party Parlement Group) untuk masalah anak dan kemiskinan.
MELIHAT keseriusannya, kita patut cemburu. Kondisi anak di Indonesia masih memprihatinkan, meski upaya perlindungan anak sudah lama dikerjakan. Ibu Mangunsarkoro sejak 1920 memeloporinya lewat Taman Siswa. Kini, delapan bulan setelah UU Perlindungan Anak Nomor 23/2002 diundangkan, kesadaran hak anak di negara ini masih rendah, bahkan masih banyak lembaga dan pihak terkait belum mengetahui keberadaan UU ini, apalagi menerapkannya.
Dalam artikel "Mematahkan Mitos, Menghormati Anak sebagai Manusia" (Kompas, 30/6/03), terurai sejumlah mitos yang dianggap mengganjal upaya perbaikan nasib anak Indonesia. Mitos-mitos ini menyebabkan orang dewasa gagal mempersepsi anak sebagai manusia, dan memperlakukan anak hanya sebagai obyek dalam keluarga, masyarakat, maupun negara. Berbagai lembaga dan legislasi nasional yang dibuat untuk melindungi hak anak pun ditengarai masih berperilaku serupa. Bagaimana ini terjadi?
Harus dipahami, perjuangan hak anak tumbuh seiring pengakuan terhadap nilai-nilai humanisme universal. Hak asasi anak merupakan bagian hak asasi manusia. Upaya perlindungan anak diberikan dalam kesadaran, anak belum punya kapasitas legal untuk melakukan sesuatu yang berimplikasi hukum. Karena itu, negara wajib melindungi hak anak, tanggung jawab pelaksanaannya diserahkan kepada orangtua dan masyarakat.
Namun, filsafat humanisme yang dibawa sistem kapitalisme modern yang kita anut kini mendorong tumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan yang memihak kebebasan individual dan memprioritaskan kebutuhan individu di atas relasi sosial. Dalam praktiknya, nilai-nilai humanistik sering menyerah pada dorongan kebutuhan individual yang menghasilkan keuntungan lebih besar. Individualitas juga merasuk dalam kesadaran manusia dan mendominasi struktur relasi antarmanusia, hingga mampu menggeser nilai-nilai luhur dalam relasi orangtua dan anak. Apalagi globalisasi yang dimotivasi kapitalisme memaksa manusia untuk kreatif mengapitalisasi apa pun demi mendapat laba. Tentu saja anak, dalam posisinya yang lemah secara fisik, sosial, maupun hukum, menjadi pilihan yang amat atraktif untuk dikapitalkan.
Kondisi ini diperkeruh apresiasi budaya atau agama yang menerjemahkan hubungan orangtua–anak dalam relasi subordinat, di mana orangtua adalah pihak yang bertanggung jawab untuk membesarkan dan memenuhi kebutuhan anak. Orangtua lalu merasa berhak melakukan apa pun terhadap anaknya melalui berbagai dalih agama dan budaya, termasuk prinsip "demi kebaikan anak". Orangtua juga sering sulit melepas identifikasi dirinya dalam diri anak. Anak dianggap mengemban aneka obsesi dan harapan yang ingin ia capai. Akibatnya, konsep "demi kebaikan anak" sering menjelma menjadi "demi kebaikan orangtua".
CAROL Bellamy, Direktur Eksekutif UNICEF untuk Asia-Pasifik, berujar, "…Semua berawal dari satu hal, investasi pada anak-anak", dalam pidato pembukaan pertemuan Konsultasi Tingkat Menteri se-Asia Timur dan Pasifik tentang Anak awal Mei lalu (Kompas, 11/5/03). Ungkapan "investasi pada anak-anak" harus dibaca hati-hati, mengingat istilah investasi amat berbau ekonomi. Pertimbangan utama dalam investasi adalah keuntungan investor. Investasinya jelas diperlakukan sebaik mungkin, namun tujuan akhir tetap kepentingan investor. Bila logika ini terus digunakan, pemaknaan eksploitatif inilah yang masuk ke bawah sadar manusia dan mengendalikan perilaku tanpa kita sadari.
Pada kenyataannya, manusia sering memperlakukan anak sebagai properti, simbol prestise, atau atribut standar dari statusnya sebagai manusia dewasa. Misalnya, dengan menjadikan anak sebagai alasan untuk menikah atau mempertahankan perkawinan. Padahal, anak punya hak untuk tumbuh dalam rumah tangga yang sehat sejahtera secara psikologis. Hak ini sering terlanggar saat istilah "kepentingan terbaik untuk anak" ditafsirkan secara egois demi kepentingan (calon) orangtuanya. Sudah waktunya unsur hak anak masuk dalam persyaratan perkawinan, terutama bagi pasangan yang berniat punya anak. Mereka harus paham, mampu, dan bersedia memenuhi hak anak agar anak tak lagi jadi aset atau dekor rumah tangga belaka.
Rapuhnya perlindungan anak di Indonesia juga disebabkan selama ini isu anak diperlakukan bak burung dalam sangkar. Orang tertarik berpartisipasi karena "anak" adalah isu yang eksotik, segala dukungan fasilitas dan dana relatif mudah diperoleh karena manusia mudah tersentuh perasaannya bila menyangkut urusan anak. Selain itu, isu anak dianggap soft issue karena lebih bermuatan sosial atau amal, dan relatif apolitis. Padahal, kekuatan posisi tawar amat signifikan bagi keberhasilan gerakan ini. Lemahnya dukungan politik membuat gerakan ini dimanfaatkan sebagai fungsi sublimasi dari aneka kepentingan selain kepentingan anak, misalnya, pengumpulan simpati politik, popularitas, promosi jabatan, uang, atau surga.
Pertanyaannya kini, apa yang membuat masalah anak menjadi signifikan hingga butuh banyak perhatian, mulai dari budaya sampai politik? Jawabnya, karena penyelesaian separuh hati atau sekadar seremonial justru membahayakan perkembangan emosi dan struktur kepribadian anak. Artinya, cita-cita perbaikan nasib anak bakal makin jauh melayang.
Ketika fungsi-fungsi perlindungan anak gagal dilaksanakan orangtua atau masyarakat, peran negara kembali penting. Salah satu isi UU Perlindungan Anak No 23/2002 adalah pembentukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Lembaga ini diharapkan berperan seperti Komnas HAM, dengan konsentrasi pada masalah anak. Di luar beberapa kelemahan materiil dari konsep KPAI, lembaga ini perlu didukung, setidaknya atas dua alasan. Pertama, untuk menjamin negara dan perangkatnya menjalankan fungsi pelindung hak anak sebagaimana tertuang dalam UU dengan serius dan bertanggung jawab. Kedua, guna memastikan isu anak tidak dimarjinalisasi sebagai pekerjaan departemen sosial atau pemberdayaan perempuan, tetapi juga menjadi agenda wajib tiap institusi pengambil kebijakan. Misalnya, dengan membuat analisis dan pernyataan tentang pengaruh suatu kebijakan terhadap anak (child impact statement), yang lalu dioperasionalkan dalam anggaran.
Kriteria keseriusan negara dalam melindungi hak anak akan terlihat dari seberapa jauh analisis ini dijadikan prioritas pertimbangan dalam pengambilan kebijakan.
KPAI juga harus mendorong keterlibatan anak dalam berbagai kegiatan atau pengambilan keputusan yang menyangkut nasibnya. Penguatan partisipasi anak tak hanya penting untuk merangsang sensitivitas sosial dan kemampuan toleransi, tetapi juga melatih anak bertanggung jawab atas keputusan yang diambil bersama.
Ini bukan konsep khayalan. Tahun 1996, di Lebanon, sejumlah anak berusia 16–18 tahun berpartisipasi dalam sidang parlemen yang membahas masalah anak, seperti pendidikan dan kesehatan. Hasilnya positif karena sejak itu masalah anak menjadi isu politik serius di Lebanon. Ini sejalan prinsip dasar hak anak yang juga termuat dalam UU No 23/2002, yaitu penghargaan terhadap partisipasi anak. Parlemen Anak, sedikitnya merupakan langkah awal. Mungkin suatu saat, pendapat anak dalam berbagai isu, seperti RUU Sisdiknas atau Panja Sukhoi, bisa diperhitungkan, mengingat baik Depdiknas maupun Bulog adalah institusi yang amat relevan dengan kesejahteraan mereka.
Di Indonesia, penerapan total hak anak masih jauh dari sempurna, namun langkah ke sana harus diambil. Bagaimanapun, anak tidak bertanggung jawab atas perilaku kita. Sebaliknya, mereka dipastikan mewarisi masalah akibat perbuatan kita saat ini. Seperti dinyatakan White Lion dalam lagu When The Children Cry, ...what have we become…just look what we have done…all that we destroyed… you must build again….
Erita Narhetali Direktur Lembaga Studi Anak Marjinal (LSAM), Tim Litbang Lembaga Bantuan Hukum Rakyat (LBHR)
Demikian sekilas abstraksi penerapan hak anak di Inggris. Hingga tahun lalu, tercatat empat juta anak di Inggris hidup dalam kemiskinan (End Child Poverty, edisi April 2002). Ini adalah angka tertinggi di kalangan negara industri maju lainnya. Namun, kesungguhan negara ini mengurus masalah anak ditandai upaya mengintegrasikan perlindungan hak anak dengan program menghapus kemiskinan anak. Strateginya antara lain dengan mendorong implementasi Children Budget’s Year oleh kelompok kerja parlemen (All Party Parlement Group) untuk masalah anak dan kemiskinan.
MELIHAT keseriusannya, kita patut cemburu. Kondisi anak di Indonesia masih memprihatinkan, meski upaya perlindungan anak sudah lama dikerjakan. Ibu Mangunsarkoro sejak 1920 memeloporinya lewat Taman Siswa. Kini, delapan bulan setelah UU Perlindungan Anak Nomor 23/2002 diundangkan, kesadaran hak anak di negara ini masih rendah, bahkan masih banyak lembaga dan pihak terkait belum mengetahui keberadaan UU ini, apalagi menerapkannya.
Dalam artikel "Mematahkan Mitos, Menghormati Anak sebagai Manusia" (Kompas, 30/6/03), terurai sejumlah mitos yang dianggap mengganjal upaya perbaikan nasib anak Indonesia. Mitos-mitos ini menyebabkan orang dewasa gagal mempersepsi anak sebagai manusia, dan memperlakukan anak hanya sebagai obyek dalam keluarga, masyarakat, maupun negara. Berbagai lembaga dan legislasi nasional yang dibuat untuk melindungi hak anak pun ditengarai masih berperilaku serupa. Bagaimana ini terjadi?
Harus dipahami, perjuangan hak anak tumbuh seiring pengakuan terhadap nilai-nilai humanisme universal. Hak asasi anak merupakan bagian hak asasi manusia. Upaya perlindungan anak diberikan dalam kesadaran, anak belum punya kapasitas legal untuk melakukan sesuatu yang berimplikasi hukum. Karena itu, negara wajib melindungi hak anak, tanggung jawab pelaksanaannya diserahkan kepada orangtua dan masyarakat.
Namun, filsafat humanisme yang dibawa sistem kapitalisme modern yang kita anut kini mendorong tumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan yang memihak kebebasan individual dan memprioritaskan kebutuhan individu di atas relasi sosial. Dalam praktiknya, nilai-nilai humanistik sering menyerah pada dorongan kebutuhan individual yang menghasilkan keuntungan lebih besar. Individualitas juga merasuk dalam kesadaran manusia dan mendominasi struktur relasi antarmanusia, hingga mampu menggeser nilai-nilai luhur dalam relasi orangtua dan anak. Apalagi globalisasi yang dimotivasi kapitalisme memaksa manusia untuk kreatif mengapitalisasi apa pun demi mendapat laba. Tentu saja anak, dalam posisinya yang lemah secara fisik, sosial, maupun hukum, menjadi pilihan yang amat atraktif untuk dikapitalkan.
Kondisi ini diperkeruh apresiasi budaya atau agama yang menerjemahkan hubungan orangtua–anak dalam relasi subordinat, di mana orangtua adalah pihak yang bertanggung jawab untuk membesarkan dan memenuhi kebutuhan anak. Orangtua lalu merasa berhak melakukan apa pun terhadap anaknya melalui berbagai dalih agama dan budaya, termasuk prinsip "demi kebaikan anak". Orangtua juga sering sulit melepas identifikasi dirinya dalam diri anak. Anak dianggap mengemban aneka obsesi dan harapan yang ingin ia capai. Akibatnya, konsep "demi kebaikan anak" sering menjelma menjadi "demi kebaikan orangtua".
CAROL Bellamy, Direktur Eksekutif UNICEF untuk Asia-Pasifik, berujar, "…Semua berawal dari satu hal, investasi pada anak-anak", dalam pidato pembukaan pertemuan Konsultasi Tingkat Menteri se-Asia Timur dan Pasifik tentang Anak awal Mei lalu (Kompas, 11/5/03). Ungkapan "investasi pada anak-anak" harus dibaca hati-hati, mengingat istilah investasi amat berbau ekonomi. Pertimbangan utama dalam investasi adalah keuntungan investor. Investasinya jelas diperlakukan sebaik mungkin, namun tujuan akhir tetap kepentingan investor. Bila logika ini terus digunakan, pemaknaan eksploitatif inilah yang masuk ke bawah sadar manusia dan mengendalikan perilaku tanpa kita sadari.
Pada kenyataannya, manusia sering memperlakukan anak sebagai properti, simbol prestise, atau atribut standar dari statusnya sebagai manusia dewasa. Misalnya, dengan menjadikan anak sebagai alasan untuk menikah atau mempertahankan perkawinan. Padahal, anak punya hak untuk tumbuh dalam rumah tangga yang sehat sejahtera secara psikologis. Hak ini sering terlanggar saat istilah "kepentingan terbaik untuk anak" ditafsirkan secara egois demi kepentingan (calon) orangtuanya. Sudah waktunya unsur hak anak masuk dalam persyaratan perkawinan, terutama bagi pasangan yang berniat punya anak. Mereka harus paham, mampu, dan bersedia memenuhi hak anak agar anak tak lagi jadi aset atau dekor rumah tangga belaka.
Rapuhnya perlindungan anak di Indonesia juga disebabkan selama ini isu anak diperlakukan bak burung dalam sangkar. Orang tertarik berpartisipasi karena "anak" adalah isu yang eksotik, segala dukungan fasilitas dan dana relatif mudah diperoleh karena manusia mudah tersentuh perasaannya bila menyangkut urusan anak. Selain itu, isu anak dianggap soft issue karena lebih bermuatan sosial atau amal, dan relatif apolitis. Padahal, kekuatan posisi tawar amat signifikan bagi keberhasilan gerakan ini. Lemahnya dukungan politik membuat gerakan ini dimanfaatkan sebagai fungsi sublimasi dari aneka kepentingan selain kepentingan anak, misalnya, pengumpulan simpati politik, popularitas, promosi jabatan, uang, atau surga.
Pertanyaannya kini, apa yang membuat masalah anak menjadi signifikan hingga butuh banyak perhatian, mulai dari budaya sampai politik? Jawabnya, karena penyelesaian separuh hati atau sekadar seremonial justru membahayakan perkembangan emosi dan struktur kepribadian anak. Artinya, cita-cita perbaikan nasib anak bakal makin jauh melayang.
Ketika fungsi-fungsi perlindungan anak gagal dilaksanakan orangtua atau masyarakat, peran negara kembali penting. Salah satu isi UU Perlindungan Anak No 23/2002 adalah pembentukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Lembaga ini diharapkan berperan seperti Komnas HAM, dengan konsentrasi pada masalah anak. Di luar beberapa kelemahan materiil dari konsep KPAI, lembaga ini perlu didukung, setidaknya atas dua alasan. Pertama, untuk menjamin negara dan perangkatnya menjalankan fungsi pelindung hak anak sebagaimana tertuang dalam UU dengan serius dan bertanggung jawab. Kedua, guna memastikan isu anak tidak dimarjinalisasi sebagai pekerjaan departemen sosial atau pemberdayaan perempuan, tetapi juga menjadi agenda wajib tiap institusi pengambil kebijakan. Misalnya, dengan membuat analisis dan pernyataan tentang pengaruh suatu kebijakan terhadap anak (child impact statement), yang lalu dioperasionalkan dalam anggaran.
Kriteria keseriusan negara dalam melindungi hak anak akan terlihat dari seberapa jauh analisis ini dijadikan prioritas pertimbangan dalam pengambilan kebijakan.
KPAI juga harus mendorong keterlibatan anak dalam berbagai kegiatan atau pengambilan keputusan yang menyangkut nasibnya. Penguatan partisipasi anak tak hanya penting untuk merangsang sensitivitas sosial dan kemampuan toleransi, tetapi juga melatih anak bertanggung jawab atas keputusan yang diambil bersama.
Ini bukan konsep khayalan. Tahun 1996, di Lebanon, sejumlah anak berusia 16–18 tahun berpartisipasi dalam sidang parlemen yang membahas masalah anak, seperti pendidikan dan kesehatan. Hasilnya positif karena sejak itu masalah anak menjadi isu politik serius di Lebanon. Ini sejalan prinsip dasar hak anak yang juga termuat dalam UU No 23/2002, yaitu penghargaan terhadap partisipasi anak. Parlemen Anak, sedikitnya merupakan langkah awal. Mungkin suatu saat, pendapat anak dalam berbagai isu, seperti RUU Sisdiknas atau Panja Sukhoi, bisa diperhitungkan, mengingat baik Depdiknas maupun Bulog adalah institusi yang amat relevan dengan kesejahteraan mereka.
Di Indonesia, penerapan total hak anak masih jauh dari sempurna, namun langkah ke sana harus diambil. Bagaimanapun, anak tidak bertanggung jawab atas perilaku kita. Sebaliknya, mereka dipastikan mewarisi masalah akibat perbuatan kita saat ini. Seperti dinyatakan White Lion dalam lagu When The Children Cry, ...what have we become…just look what we have done…all that we destroyed… you must build again….
Erita Narhetali Direktur Lembaga Studi Anak Marjinal (LSAM), Tim Litbang Lembaga Bantuan Hukum Rakyat (LBHR)
Merebut Makna, Belajar Bahasa Kehidupan
DALAM bahasa yang kita gunakan, kata Ludwig Wittgenstein, ahli filsafat bahasa dari Austria, tersirat suatu orientasi hidup yang bukan saja mencakup konsep yang kita anut mengenai sekitar, melainkan juga perasaan, nilai, pikiran, kebudayaan, hingga takhayul. Bahasa amat penting. Ialah yang menentukan hubungan dan pergaulan dalam segala segi di masyarakat.
Dengan bahasa kita dapat menyembunyikan dan mengungkap pikiran, dengan bahasa pula kita mencipta dan menyudahi konflik. Karena bahasa, kita menyerahkan cinta dan dengannya pula kita mengumumkan perang. Singkatnya, bahasa adalah petunjuk kehidupan dan gambaran dunia kita. Padanya ditemukan analisis objektif kehidupan kita.
DENGARKAN laporan dan berita di televisi, bising ujaran di kampus, dan saksikan kemampuan baca tulis di hampir semua lapisan. Kalimat yang tidak koheren, ejaan serampangan, pilihan kata yang bersalahan sampai ke kisah yang tidak berkembang dan mudah ditebak apalagi tidak imajinatif, ditemukan di banyak terbitan. Buku yang amat diminati, bahkan dipenuhi bahasa lisan.
Deskripsi-deskripsi serupa ini, "Seharian di rumah terus, keluar rumah kalo kuliah aja. Kalo nggak ada kuliah? Ya ngurung diri di kamar masing-masing. Kalo nggak belajar, ya tidur. Seringnya malah belajar sambil ketiduran. Aneh juga, ya? Nggak biasanya anak kos yang centil-centil itu nggak bertingkah. Biasanya, begitu denger ada sale di mal atau ada pagelaran konser musik oke, hebohnya sejak dua bulan sebelumnya." bagaimanapun, menunjukkan bahwa ada yang salah dengan-pengguna-bahasa Indonesia.
Tentu saja contoh itu tidak mungkin dipahami dengan cara pukul rata, apalagi dari satu segi saja. Sekilas contoh itu dapat diterima sebagai hasil pendidikan yang semrawut, dapat juga mewakili jiwa yang ingin bebas. Tampak ketidakpedulian, terasa pelecehan, dan keduanya memastikan bahwa bahasa Indonesia tidak dianggap penting juga tak berharga bagi pemiliknya. Tetapi, bila kita percaya pada bahasa sebagai buah pikiran, alat logika untuk meramu idiom demi penyampaian pikiran dan perasaan, cara berbahasa harus dikaitkan dengan kemampuan berpikir. Kecermatan dan kesantunan berbahasa dengan begitu, adalah cerminan nalar dan budaya seseorang.
Hal itu mengantar kita pada sekolah yang mendidik siswa mampu membaca dan menulis dalam pelajaran bahasa Indonesia. Apakah yang terjadi di sekolah? Apakah dengan semua upaya, dana, waktu, dan tenaga yang dicurahkan, kita hanya akan menuai kegagalan? Bagaimanakah caranya mengelola mata pelajaran bahasa Indonesia sehingga menarik dan dapat berbekas pada siswa? Adakah jalan sehingga dengan belajar bahasa siswa menemukan minat dan dengan begitu dapat mengembangkan potensinya apalagi menemukan jati dirinya?
Pertama, harus dipercaya, belajar bahasa yakni membaca, menulis, dan berbicara adalah bagian dari proses berpikir. Dengan bahasa, siswa dimampukan berpikir kalau boleh hingga ke tataran yang rumit karena tersedianya sebuah struktur untuk mengekspresikan dan mengenali hubungan antarkonsep dan dengan itu ia dapat berkomunikasi dengan sesamanya. Dalam pelajaran bahasa, siswa belajar tentang bagaimana berkomunikasi sambil mengenali cara berpikir yang sesuai budaya bahasa yang dipelajarinya. Karena itu, semua upaya di kelas dikerahkan untuk memampukan komunikasi dan menumbuhkan keterampilan berpikir kritis. Contoh keseharian tulisan membuktikan bahwa siswa tak biasa dan bisa berpikir. Bercakap dan berkomunikasi juga sulit bagi banyak orang. Hal yang sama tampak pula pada bacaan mereka.
Kedua, karena bahasa adalah pikiran dan perasaan yang lahir dari sebuah budaya dan dunia, maka siswa hanya akan terlibat dalam pelajaran bahasa kalau ia diperlakukan sebagai subyek, diizinkan masuk secara aktif dalam dunia yang sedang dibacanya, dan membuat bacaannya menjadi bagian dari dirinya. Inilah yang disebut Paulo Freire sebagai membaca dan menulis yang tumbuh dari gerakan dinamis "membaca dunia", yaitu berbincang tentang pengalaman, berbicara bebas dan spontan, dan tidak memisahkan membaca dan menulis huruf dan kata dari membaca dan menulis kehidupan.
Ketiga, dengan kerendahan hati guru perlu menyadari pentingnya peningkatan pengetahuan tentang siswa, mengenai bahasa yang diajarkan dan harus diyakini, apalagi perihal kehidupan sebagai sumber dan alasan pentingnya berbahasa dan menjadi manusia. Guru perlu sabar dan toleran menghadapi dan menerima siswa dan senantiasa tak sabaran untuk memberikan yang terbaik. Dengan menyadari kompleksitas perkembangan siswa, para penentu keberhasilan diharapkan mengasihi siswanya secara afirmatif, sekaligus dapat menerima dan mendorongnya berbuat lebih banyak, yang membuatnya makin bertanggung jawab atas tugasnya. Kualitas itu menguatkan guru untuk memotivasi siswa menginterpretasi bacaannya, merebut makna dan menulis ulang apa yang dibacanya, dan berubah karenanya.
SAYANG, Uji Coba Ujian Akhir Nasional Bahasa Indonesia SLTP 20 April 2003 lalu menunjukkan betapa pendidikan bahasa di Indonesia masih menganut konsep perbankan, karena ujian direkayasa melulu untuk memeriksa apa yang diterima siswa-yang dideposito para guru-apa yang mereka kunyah dan hafalkan. Soal pilihan ganda tentu meniscayakan pengetahuan tentang bahasa bukan keterampilan berbahasa.
Penyempitan makna, kalimat berobyek, kata ganti, keterangan kesalingan, hubungan pengandaian, makna akhiran, kalimat majemuk antara lain diujikan. Hal dilematis timbul saat siswa harus menentukan watak tokoh dalam karya sastra berdasarkan hanya satu alinea.
Sebuah karya terbitan tahun 30-an, tentang seorang tokoh berumur 27 tahun yang merisaukan jodohnya, sudah jelas jauh dari dunia anak SLTP. Dari ujian ini tampak kebutuhan siswa diabaikan, disangka berpikir alih-alih dibiarkan menebak, dan masih diperlukan cara melibatkan perasaan dan minat mereka.
Jadi, apakah yang dapat dilakukan, dan perubahan manakah yang diperlukan? Pusat pengajaran bahasa haruslah siswa, demi pemahaman, minat, dan kebutuhan mereka. Siswa penuh dengan bahasa dan amat gembira belajar. Kemampuan mereka mengonstruksi makna juga istimewa sehingga para pengajar bisa dengan mudah menjadi pembelajar ketika berhadapan dengan siswa. Karena yang utama dalam pelajaran bahasa adalah kebersatuan bacaan, tulisan, dan ujaran siswa dengan dunia yang hendak dikenalinya, maka guru perlu menjadi satu dengan siswa, punya kegirangan menjelajah mengenali kehidupan, ingin tahu dan suka berkelana.
Pengajaran bahasa dengan demikian adalah upaya melibatkan murid, yang tidak bisa diperlakukan melulu sebagai pelatihan teknis, tetapi harus menghubungkannya dengan perasaan, minat, dan kebutuhan mereka. Keberhasilannya tergantung dari partisipasi dalam dialog yang terencana.
Untuk itu, dua jam pertama setiap hari di sekolah hendaknya dipersembahkan untuk bahasa, dan sepanjang hari upaya bernalar, mempertimbangkan rasa dengan mengedepankan keperluan siswa menjadi utama. Karena membaca dan menulis adalah cara untuk menemukan arah dan arti, keindahan dan keintiman hidup yang dapat mencipta dan membangun kehidupan siswa. Hanya dengan mengajar bahasa dengan benar kita membantu anak mendapatkan haknya sebagai anggota keluarga umat manusia.
Dengan bahasa kita dapat menyembunyikan dan mengungkap pikiran, dengan bahasa pula kita mencipta dan menyudahi konflik. Karena bahasa, kita menyerahkan cinta dan dengannya pula kita mengumumkan perang. Singkatnya, bahasa adalah petunjuk kehidupan dan gambaran dunia kita. Padanya ditemukan analisis objektif kehidupan kita.
DENGARKAN laporan dan berita di televisi, bising ujaran di kampus, dan saksikan kemampuan baca tulis di hampir semua lapisan. Kalimat yang tidak koheren, ejaan serampangan, pilihan kata yang bersalahan sampai ke kisah yang tidak berkembang dan mudah ditebak apalagi tidak imajinatif, ditemukan di banyak terbitan. Buku yang amat diminati, bahkan dipenuhi bahasa lisan.
Deskripsi-deskripsi serupa ini, "Seharian di rumah terus, keluar rumah kalo kuliah aja. Kalo nggak ada kuliah? Ya ngurung diri di kamar masing-masing. Kalo nggak belajar, ya tidur. Seringnya malah belajar sambil ketiduran. Aneh juga, ya? Nggak biasanya anak kos yang centil-centil itu nggak bertingkah. Biasanya, begitu denger ada sale di mal atau ada pagelaran konser musik oke, hebohnya sejak dua bulan sebelumnya." bagaimanapun, menunjukkan bahwa ada yang salah dengan-pengguna-bahasa Indonesia.
Tentu saja contoh itu tidak mungkin dipahami dengan cara pukul rata, apalagi dari satu segi saja. Sekilas contoh itu dapat diterima sebagai hasil pendidikan yang semrawut, dapat juga mewakili jiwa yang ingin bebas. Tampak ketidakpedulian, terasa pelecehan, dan keduanya memastikan bahwa bahasa Indonesia tidak dianggap penting juga tak berharga bagi pemiliknya. Tetapi, bila kita percaya pada bahasa sebagai buah pikiran, alat logika untuk meramu idiom demi penyampaian pikiran dan perasaan, cara berbahasa harus dikaitkan dengan kemampuan berpikir. Kecermatan dan kesantunan berbahasa dengan begitu, adalah cerminan nalar dan budaya seseorang.
Hal itu mengantar kita pada sekolah yang mendidik siswa mampu membaca dan menulis dalam pelajaran bahasa Indonesia. Apakah yang terjadi di sekolah? Apakah dengan semua upaya, dana, waktu, dan tenaga yang dicurahkan, kita hanya akan menuai kegagalan? Bagaimanakah caranya mengelola mata pelajaran bahasa Indonesia sehingga menarik dan dapat berbekas pada siswa? Adakah jalan sehingga dengan belajar bahasa siswa menemukan minat dan dengan begitu dapat mengembangkan potensinya apalagi menemukan jati dirinya?
Pertama, harus dipercaya, belajar bahasa yakni membaca, menulis, dan berbicara adalah bagian dari proses berpikir. Dengan bahasa, siswa dimampukan berpikir kalau boleh hingga ke tataran yang rumit karena tersedianya sebuah struktur untuk mengekspresikan dan mengenali hubungan antarkonsep dan dengan itu ia dapat berkomunikasi dengan sesamanya. Dalam pelajaran bahasa, siswa belajar tentang bagaimana berkomunikasi sambil mengenali cara berpikir yang sesuai budaya bahasa yang dipelajarinya. Karena itu, semua upaya di kelas dikerahkan untuk memampukan komunikasi dan menumbuhkan keterampilan berpikir kritis. Contoh keseharian tulisan membuktikan bahwa siswa tak biasa dan bisa berpikir. Bercakap dan berkomunikasi juga sulit bagi banyak orang. Hal yang sama tampak pula pada bacaan mereka.
Kedua, karena bahasa adalah pikiran dan perasaan yang lahir dari sebuah budaya dan dunia, maka siswa hanya akan terlibat dalam pelajaran bahasa kalau ia diperlakukan sebagai subyek, diizinkan masuk secara aktif dalam dunia yang sedang dibacanya, dan membuat bacaannya menjadi bagian dari dirinya. Inilah yang disebut Paulo Freire sebagai membaca dan menulis yang tumbuh dari gerakan dinamis "membaca dunia", yaitu berbincang tentang pengalaman, berbicara bebas dan spontan, dan tidak memisahkan membaca dan menulis huruf dan kata dari membaca dan menulis kehidupan.
Ketiga, dengan kerendahan hati guru perlu menyadari pentingnya peningkatan pengetahuan tentang siswa, mengenai bahasa yang diajarkan dan harus diyakini, apalagi perihal kehidupan sebagai sumber dan alasan pentingnya berbahasa dan menjadi manusia. Guru perlu sabar dan toleran menghadapi dan menerima siswa dan senantiasa tak sabaran untuk memberikan yang terbaik. Dengan menyadari kompleksitas perkembangan siswa, para penentu keberhasilan diharapkan mengasihi siswanya secara afirmatif, sekaligus dapat menerima dan mendorongnya berbuat lebih banyak, yang membuatnya makin bertanggung jawab atas tugasnya. Kualitas itu menguatkan guru untuk memotivasi siswa menginterpretasi bacaannya, merebut makna dan menulis ulang apa yang dibacanya, dan berubah karenanya.
SAYANG, Uji Coba Ujian Akhir Nasional Bahasa Indonesia SLTP 20 April 2003 lalu menunjukkan betapa pendidikan bahasa di Indonesia masih menganut konsep perbankan, karena ujian direkayasa melulu untuk memeriksa apa yang diterima siswa-yang dideposito para guru-apa yang mereka kunyah dan hafalkan. Soal pilihan ganda tentu meniscayakan pengetahuan tentang bahasa bukan keterampilan berbahasa.
Penyempitan makna, kalimat berobyek, kata ganti, keterangan kesalingan, hubungan pengandaian, makna akhiran, kalimat majemuk antara lain diujikan. Hal dilematis timbul saat siswa harus menentukan watak tokoh dalam karya sastra berdasarkan hanya satu alinea.
Sebuah karya terbitan tahun 30-an, tentang seorang tokoh berumur 27 tahun yang merisaukan jodohnya, sudah jelas jauh dari dunia anak SLTP. Dari ujian ini tampak kebutuhan siswa diabaikan, disangka berpikir alih-alih dibiarkan menebak, dan masih diperlukan cara melibatkan perasaan dan minat mereka.
Jadi, apakah yang dapat dilakukan, dan perubahan manakah yang diperlukan? Pusat pengajaran bahasa haruslah siswa, demi pemahaman, minat, dan kebutuhan mereka. Siswa penuh dengan bahasa dan amat gembira belajar. Kemampuan mereka mengonstruksi makna juga istimewa sehingga para pengajar bisa dengan mudah menjadi pembelajar ketika berhadapan dengan siswa. Karena yang utama dalam pelajaran bahasa adalah kebersatuan bacaan, tulisan, dan ujaran siswa dengan dunia yang hendak dikenalinya, maka guru perlu menjadi satu dengan siswa, punya kegirangan menjelajah mengenali kehidupan, ingin tahu dan suka berkelana.
Pengajaran bahasa dengan demikian adalah upaya melibatkan murid, yang tidak bisa diperlakukan melulu sebagai pelatihan teknis, tetapi harus menghubungkannya dengan perasaan, minat, dan kebutuhan mereka. Keberhasilannya tergantung dari partisipasi dalam dialog yang terencana.
Untuk itu, dua jam pertama setiap hari di sekolah hendaknya dipersembahkan untuk bahasa, dan sepanjang hari upaya bernalar, mempertimbangkan rasa dengan mengedepankan keperluan siswa menjadi utama. Karena membaca dan menulis adalah cara untuk menemukan arah dan arti, keindahan dan keintiman hidup yang dapat mencipta dan membangun kehidupan siswa. Hanya dengan mengajar bahasa dengan benar kita membantu anak mendapatkan haknya sebagai anggota keluarga umat manusia.
Langganan:
Postingan (Atom)