Jumat, 14 Januari 2011
Sabtu, 26 Desember 2009
Guru dan Semangatnya
KumpulBlogger.com
Menjadi guru, bukanlah pekerjaan mudah. Didalamnya, dituntut pengabdian, dan
juga ketekunan. Harus ada pula kesabaran, dan welas asih dalam menyampaikan
pelajaran. Sebab, sejatinya, guru bukan hanya mendidik, tapi juga mengajarkan.
Hanya orang-orang tertentu saja yang mampu menjalankannya.
Menjadi guru juga bukan sesuatu yang gampang. Apalagi, menjadi guru bagi
anak-anak yang mempunyai “keistimewaan”. Dan saya, merasa beruntung sekali dapat
menjadi guru mereka, walau cuma dalam beberapa jam saja. Ada kenikmatan
tersendiri, berada di tengah anak-anak dengan latar belakang Cerebral Palsy
(sindroma gangguan otak belakang).
Suatu ketika, saya diminta untuk mendampingi seorang guru, di sebuah kelas
khusus bagi penyandang cacat. Kelas itu, disebut dengan kelas persiapan, sebuah
kelas yang berada dalam tingkatan awal di YPAC Jakarta. Lazimnya, anak-anak
disana berumur antara 9-12 tahun, tapi kemampuan mereka setara dengan anak
berusia 4-5 tahun, atau kelas 0 kecil.
Saat hadir disana, kelas tampak ramai. Mereka rupanya sedang bermain susun
bentuk dan warna. Ada teriak-teriakan ganjil yang parau, dan hentakan-hentakan
kepala yang konstan dari mereka. Ada pula tangan-tangan yang kaku, yang sedang
menyusun keping-keping diagram. Disana-sini terserak mainan kayu dan plastik.
Riuh. Bangku-bangku khusus berderak-derak, bergesek dengan kursi roda sebagian
anak yang beradu dengan lantai.
Saya merasa canggung dengan semua itu. Namun, perasaan itu hilang, saat melihat
seorang guru yang tampak begitu telaten menemani anak-anak disana. “Mari masuk,
duduk sini dekat Si Abang, dia makin pinter lho bikin huruf,” begitu panggilnya
kepada saya. Saya berjalan, melewati anak-anak yang masih sibuk dengan tugas
mereka. Ah benar saja, si Abang, anak berusia 11 tahun yang mengalami Cerebral
Palsy dengan pembesaran kepala itu, tampak tersenyum kepada saya. Badannya
melonjak-lonjak, tangannya memanggil-manggil seakan ingin pamer dengan
kepandaiannya menyusun huruf.
Subhanallah, si Abang kembali melonjak-lonjak. Saya kaget. Saya tersenyum. Dia
tergelak tertawa. Tak lama, kami pun mulai akrab. Dia tak malu lagi dibantu
menyusun angka dan huruf. Susun-tempel-susun-tempel, begitu yang kami lakukan.
Ah, saya mulai menikmati pekerjaan ini. Dia pun kini tampak bergayut di tangan
saya. Tanpa terasa, saya mengelus kepalanya dan mendekatkannya ke dada. Terasa
damai dan hangat.
Sementara di sudut lain, sang Ibu guru tetap sabar sekali menemani semua anak
disana. Dituntunnya tangan anak-anak itu untuk meniti susunan-susunan gambar.
Dibimbingnya setiap jemari dengan tekun, sambil sesekali mengajak mereka
tersenyum. Tangannya tak henti mengusap lembut ujung-ujung jemari lemah itu.
Namun, tak pernah ada keluh, dan marah yang saya dengar.
Waktu berjalan begitu cepat. Dan kini, waktunya untuk pulang. Setelah
membereskan beberapa permainan, anak-anak pun bersiap di bangku masing-masing.
Dduh, damai sekali melihat anak-anak itu bersiap dengan posisi serapih-rapihnya.
Tangan yang bersedekap diatas meja, dan tatapan polos kearah depan, saya yakin,
membuat setiap orang tersenyum. Ibu guru pun mulai memimpin doa, memimpin setiap
anak untuk mengatupkan mata dan memanjatkan harap kepada Tuhan.
Damai. Damai sekali mata-mata yang mengatup itu. Teduh. Teduh sekali melihat
mata mereka semua terpejam. Empat jam sudah saya bersama “malaikat-malaikat”
kecil itu. Lelah dan penat yang saya rasakan, tampak tak berarti dibanding
dengan pengalaman batin yang saya alami. Kini, mereka bergerak, berbaris menuju
pintu keluar. Tampak satu persatu kursi roda bergerak menuju ke arah saya.
Ddduh, ada apa ini?
Lagi-lagi saya terharu. Setibanya di depan saya, mereka semua terdiam,
mengisyaratkan untuk mencium tangan. Ya, mereka mencium tangan saya, sambil
berkata, “Selamat siang Pak Guru..” Ah, perkataan yang tulus yang membuat saya
melambung. Pak guru…Pak Guru, begitu ucap mereka satu persatu. Kursi roda
mereka berderak-derak setiap kali mereka mengayuhnya menuju ke arah saya.
Derak-derak itu kembali membuat saya terharu, membayangkan usaha mereka untuk
sekedar mencium tangan saya.
Anak yang terakhir telah mencium tangan saya. Kini, tatapan saya bergerak ke
samping, ke arah punggung anak-anak yang berjalan ke pintu keluar. Dalam diam
saya berucap, “..selamat jalan anak-anak, selamat jalan malaikat-malaikat
kecilku…” Saya membiarkan airmata yang menetes di sela-sela kelopak. Saya
biarkan bulir itu jatuh, untuk melukiskan perasaan haru dan bangga saya. Bangga
kepada perjuangan mereka, dan juga haru pada semangat yang mereka punya.
***
Teman, menjadi guru bukan pekerjaan mentereng. Menjadi guru juga bukan pekerjaan
yang gemerlap. Tak ada kerlap-kerlip lampu sorot yang memancar, juga
pendar-pendar cahaya setiap kali guru-guru itu sedang membaktikan diri. Sebab
mereka memang bukan para pesohor, bukan pula bintang panggung.
Namun, ada sesuatu yang mulia disana. Pada guru lah ada kerlap-kerlip cahaya
kebajikan dalam setiap nilai yang mereka ajarkan. Lewat guru lah memancar
pendar-pendar sinar keikhlasan dan ketulusan pada kerja yang mereka lakukan.
Merekalah sumber cahaya-cahaya itu, yang menyinari setiap hati anak-anak didik
mereka.
Dari gurulah kita belajar mengeja kata dan kalimat. Pada gurulah kita belajar
lamat-lamat bahasa dunia. Lewat guru, kita belajar budi pekerti, belajar
mengasah hati, dan menyelami nurani. Lewat guru pula kita mengerti tentang
banyak hal-hal yang tak kita pahami sebelumnya. Tak berlebihankah jika kita
menyebutnya sebagai pekerjaan yang mulia?
Teman, jika ingin merasakan pengalaman batin yang berbeda, cobalah menjadi guru.
Rasakan kenikmatan saat setiap anak-anak itu memanggil Anda dengan sebutan itu,
dan biarkan mata penuh perhatian itu memenuhi hati Anda. Ada sesuatu yang
berbeda disana. Cobalah. Rasakan.
Menjadi guru, bukanlah pekerjaan mudah. Didalamnya, dituntut pengabdian, dan
juga ketekunan. Harus ada pula kesabaran, dan welas asih dalam menyampaikan
pelajaran. Sebab, sejatinya, guru bukan hanya mendidik, tapi juga mengajarkan.
Hanya orang-orang tertentu saja yang mampu menjalankannya.
Menjadi guru juga bukan sesuatu yang gampang. Apalagi, menjadi guru bagi
anak-anak yang mempunyai “keistimewaan”. Dan saya, merasa beruntung sekali dapat
menjadi guru mereka, walau cuma dalam beberapa jam saja. Ada kenikmatan
tersendiri, berada di tengah anak-anak dengan latar belakang Cerebral Palsy
(sindroma gangguan otak belakang).
Suatu ketika, saya diminta untuk mendampingi seorang guru, di sebuah kelas
khusus bagi penyandang cacat. Kelas itu, disebut dengan kelas persiapan, sebuah
kelas yang berada dalam tingkatan awal di YPAC Jakarta. Lazimnya, anak-anak
disana berumur antara 9-12 tahun, tapi kemampuan mereka setara dengan anak
berusia 4-5 tahun, atau kelas 0 kecil.
Saat hadir disana, kelas tampak ramai. Mereka rupanya sedang bermain susun
bentuk dan warna. Ada teriak-teriakan ganjil yang parau, dan hentakan-hentakan
kepala yang konstan dari mereka. Ada pula tangan-tangan yang kaku, yang sedang
menyusun keping-keping diagram. Disana-sini terserak mainan kayu dan plastik.
Riuh. Bangku-bangku khusus berderak-derak, bergesek dengan kursi roda sebagian
anak yang beradu dengan lantai.
Saya merasa canggung dengan semua itu. Namun, perasaan itu hilang, saat melihat
seorang guru yang tampak begitu telaten menemani anak-anak disana. “Mari masuk,
duduk sini dekat Si Abang, dia makin pinter lho bikin huruf,” begitu panggilnya
kepada saya. Saya berjalan, melewati anak-anak yang masih sibuk dengan tugas
mereka. Ah benar saja, si Abang, anak berusia 11 tahun yang mengalami Cerebral
Palsy dengan pembesaran kepala itu, tampak tersenyum kepada saya. Badannya
melonjak-lonjak, tangannya memanggil-manggil seakan ingin pamer dengan
kepandaiannya menyusun huruf.
Subhanallah, si Abang kembali melonjak-lonjak. Saya kaget. Saya tersenyum. Dia
tergelak tertawa. Tak lama, kami pun mulai akrab. Dia tak malu lagi dibantu
menyusun angka dan huruf. Susun-tempel-susun-tempel, begitu yang kami lakukan.
Ah, saya mulai menikmati pekerjaan ini. Dia pun kini tampak bergayut di tangan
saya. Tanpa terasa, saya mengelus kepalanya dan mendekatkannya ke dada. Terasa
damai dan hangat.
Sementara di sudut lain, sang Ibu guru tetap sabar sekali menemani semua anak
disana. Dituntunnya tangan anak-anak itu untuk meniti susunan-susunan gambar.
Dibimbingnya setiap jemari dengan tekun, sambil sesekali mengajak mereka
tersenyum. Tangannya tak henti mengusap lembut ujung-ujung jemari lemah itu.
Namun, tak pernah ada keluh, dan marah yang saya dengar.
Waktu berjalan begitu cepat. Dan kini, waktunya untuk pulang. Setelah
membereskan beberapa permainan, anak-anak pun bersiap di bangku masing-masing.
Dduh, damai sekali melihat anak-anak itu bersiap dengan posisi serapih-rapihnya.
Tangan yang bersedekap diatas meja, dan tatapan polos kearah depan, saya yakin,
membuat setiap orang tersenyum. Ibu guru pun mulai memimpin doa, memimpin setiap
anak untuk mengatupkan mata dan memanjatkan harap kepada Tuhan.
Damai. Damai sekali mata-mata yang mengatup itu. Teduh. Teduh sekali melihat
mata mereka semua terpejam. Empat jam sudah saya bersama “malaikat-malaikat”
kecil itu. Lelah dan penat yang saya rasakan, tampak tak berarti dibanding
dengan pengalaman batin yang saya alami. Kini, mereka bergerak, berbaris menuju
pintu keluar. Tampak satu persatu kursi roda bergerak menuju ke arah saya.
Ddduh, ada apa ini?
Lagi-lagi saya terharu. Setibanya di depan saya, mereka semua terdiam,
mengisyaratkan untuk mencium tangan. Ya, mereka mencium tangan saya, sambil
berkata, “Selamat siang Pak Guru..” Ah, perkataan yang tulus yang membuat saya
melambung. Pak guru…Pak Guru, begitu ucap mereka satu persatu. Kursi roda
mereka berderak-derak setiap kali mereka mengayuhnya menuju ke arah saya.
Derak-derak itu kembali membuat saya terharu, membayangkan usaha mereka untuk
sekedar mencium tangan saya.
Anak yang terakhir telah mencium tangan saya. Kini, tatapan saya bergerak ke
samping, ke arah punggung anak-anak yang berjalan ke pintu keluar. Dalam diam
saya berucap, “..selamat jalan anak-anak, selamat jalan malaikat-malaikat
kecilku…” Saya membiarkan airmata yang menetes di sela-sela kelopak. Saya
biarkan bulir itu jatuh, untuk melukiskan perasaan haru dan bangga saya. Bangga
kepada perjuangan mereka, dan juga haru pada semangat yang mereka punya.
***
Teman, menjadi guru bukan pekerjaan mentereng. Menjadi guru juga bukan pekerjaan
yang gemerlap. Tak ada kerlap-kerlip lampu sorot yang memancar, juga
pendar-pendar cahaya setiap kali guru-guru itu sedang membaktikan diri. Sebab
mereka memang bukan para pesohor, bukan pula bintang panggung.
Namun, ada sesuatu yang mulia disana. Pada guru lah ada kerlap-kerlip cahaya
kebajikan dalam setiap nilai yang mereka ajarkan. Lewat guru lah memancar
pendar-pendar sinar keikhlasan dan ketulusan pada kerja yang mereka lakukan.
Merekalah sumber cahaya-cahaya itu, yang menyinari setiap hati anak-anak didik
mereka.
Dari gurulah kita belajar mengeja kata dan kalimat. Pada gurulah kita belajar
lamat-lamat bahasa dunia. Lewat guru, kita belajar budi pekerti, belajar
mengasah hati, dan menyelami nurani. Lewat guru pula kita mengerti tentang
banyak hal-hal yang tak kita pahami sebelumnya. Tak berlebihankah jika kita
menyebutnya sebagai pekerjaan yang mulia?
Teman, jika ingin merasakan pengalaman batin yang berbeda, cobalah menjadi guru.
Rasakan kenikmatan saat setiap anak-anak itu memanggil Anda dengan sebutan itu,
dan biarkan mata penuh perhatian itu memenuhi hati Anda. Ada sesuatu yang
berbeda disana. Cobalah. Rasakan.
peta impian
Impian akan mengarahkan kita kemana akan melangkah, bagaimana akan berbuat dan bersikap. Dengan impian kita akan tau dimana titik akhir dari perjuangan. Dan segera setelah mencapai impian itu, kita dapat menggantikannya dengan impian lain yang belum tercapai.
Sahabat, dalam meraih impian, kita perlu strategi dan peta. Sehingga saat berjalan dan bertemu dengan hambatan, kita dapat memilih untuk melompatinya ataukah memutarinya dan mengambil jalan lain. Tanpa mengubah impian, hanya mengubah arah jalan saja.
Bayangkan anda berada di tengah samudera di atas sebuah speedboat.
Lima puluh kilometer di depan anda adalah sebuah pulau, dan di
pulau itu terdapat semua yang anda inginkan dan cita-citakan.
Semua impian anda. Dan satu-satunya cara untuk mendapatkan itu
semua adalah sampai ke pulau tersebut. Pulau itu ada di belakang
cakrawala. Tapi cakrawala yang mana…?
Masalahnya adalah anda tidak punya kompas, peta, radio, telepon,
dan anda tidak tahu mana arah ke pulau tersebut. Arah yang salah
akan membuat anda melenceng jauh sekali dari pulau impian,
sementara di sekeliling anda yang terlihat cuma laut dan langit.
Dalam dua jam, anda bisa saja telah sampai di pulau impian.
Tetapi bila anda salah arah – anda bisa kehabisan bahan bakar
sebelum bisa mencapai pulau impian.
Hidup tanpa tujuan yang jelas, tanpa mengetahui dan mengerti
kegunaan hidup anda – adalah sama dengan dilema pulau impian.
Semua impian anda sebenarnya bisa tercapai, namun untuk mencapainya
anda harus mengetahui peta impian. Yaitu apa, di mana, dan bagaimana mencapainya. Anda mutlak mengetahui arah untuk mencapainya. Tentukan peta anda sekarang – untuk dapat mencapai impian anda. Buat seteliti dan seakurat mungkin – dan selanjutnya anda tinggal mengarahkan speedboat anda ke pulau impian… Untuk selanjutnya, Anda meraihnya, merengkuhnya, dan tersenyum dengan bangga, “Inilah impianku, dan aku telah mendapatkannya.”
==========
Sahabat, berhentilah sejenak dan mari kita saling mendoakan,doa untuk sahabat kita, orang tua kita, orang yang kita cintai, serta tak lupa admin web ini . Semoga peta menuju impian hidup yang kita rancang, diridhoi Allah SWT. Kita sadari tubuh kita, nyawa kita dan nafas kita, sepenuhnya adalah miliknya. Tiada satupun peristiwa yang terjadi dalam kehidupan kita, tanpa ridhoNya. Selamat berjuang sahabat… Impian itu, sudah rindu untuk kita rengkuh, dan kita peluk.
Sahabat, dalam meraih impian, kita perlu strategi dan peta. Sehingga saat berjalan dan bertemu dengan hambatan, kita dapat memilih untuk melompatinya ataukah memutarinya dan mengambil jalan lain. Tanpa mengubah impian, hanya mengubah arah jalan saja.
Bayangkan anda berada di tengah samudera di atas sebuah speedboat.
Lima puluh kilometer di depan anda adalah sebuah pulau, dan di
pulau itu terdapat semua yang anda inginkan dan cita-citakan.
Semua impian anda. Dan satu-satunya cara untuk mendapatkan itu
semua adalah sampai ke pulau tersebut. Pulau itu ada di belakang
cakrawala. Tapi cakrawala yang mana…?
Masalahnya adalah anda tidak punya kompas, peta, radio, telepon,
dan anda tidak tahu mana arah ke pulau tersebut. Arah yang salah
akan membuat anda melenceng jauh sekali dari pulau impian,
sementara di sekeliling anda yang terlihat cuma laut dan langit.
Dalam dua jam, anda bisa saja telah sampai di pulau impian.
Tetapi bila anda salah arah – anda bisa kehabisan bahan bakar
sebelum bisa mencapai pulau impian.
Hidup tanpa tujuan yang jelas, tanpa mengetahui dan mengerti
kegunaan hidup anda – adalah sama dengan dilema pulau impian.
Semua impian anda sebenarnya bisa tercapai, namun untuk mencapainya
anda harus mengetahui peta impian. Yaitu apa, di mana, dan bagaimana mencapainya. Anda mutlak mengetahui arah untuk mencapainya. Tentukan peta anda sekarang – untuk dapat mencapai impian anda. Buat seteliti dan seakurat mungkin – dan selanjutnya anda tinggal mengarahkan speedboat anda ke pulau impian… Untuk selanjutnya, Anda meraihnya, merengkuhnya, dan tersenyum dengan bangga, “Inilah impianku, dan aku telah mendapatkannya.”
==========
Sahabat, berhentilah sejenak dan mari kita saling mendoakan,doa untuk sahabat kita, orang tua kita, orang yang kita cintai, serta tak lupa admin web ini . Semoga peta menuju impian hidup yang kita rancang, diridhoi Allah SWT. Kita sadari tubuh kita, nyawa kita dan nafas kita, sepenuhnya adalah miliknya. Tiada satupun peristiwa yang terjadi dalam kehidupan kita, tanpa ridhoNya. Selamat berjuang sahabat… Impian itu, sudah rindu untuk kita rengkuh, dan kita peluk.
Agama, Mistik, dan Ecstasy
AGAMA adalah candu rakyat (Kritik atas Filsafat Hukum Hegel, 1844) merupakan teks Karl Marx yang paling umum dikenal sampai sekarang. Hanya saja, kalimat pendek ini tidak jarang salah dikutip. Kadang-kadang kita membaca religion is the opium for the people, sedangkan sebenarnya tertulis religion is the opium of the people. Perbedaannya kecil saja, hanya for dan of, tetapi bisa menimbulkan interpretasi yang menyimpang sama sekali dari aslinya.
VERSI pertama (candu bagi rakyat) memberi kesan seolah-olah agama menjadi alat dalam tangan golongan kecil (alim ulama, kaum rohaniwan) untuk mempermainkan dan menindas rakyat, barangkali atas nama dan bekerja sama dengan golongan yang berkuasa (kaum kapitalis). Kalau begitu, rakyat biasa menjadi korban penipuan karena itikad buruk segelintir orang yang berhasil merekayasa masyarakat dengan cara demikian.
Maksud Karl Marx tidak demikian. Menurut dia, agama menjadi candu rakyat sebagai suatu keadaan obyektif dalam masyarakat. Adanya agama mencerminkan struktur-struktur sosial tidak sehat dalam masyarakat. Yang dimaksud dengan struktur tidak sehat tentunya tata susunan masyarakat yang kapitalistis. Tapi, kaum kapitalis tidak menjadi biang keladi keadaan itu. Dalam arti tertentu mereka juga menjadi korban, bukan saja kaum buruh, meskipun kedudukan mereka jauh lebih menyenangkan.
Dengan menentang agama, Marx (dan semua orang yang sepakat dengan dia) sudah berusaha mengubah keadaan masyarakat yang tidak sehat itu. Dan memang begitu seluruh usaha intelektualnya. "Sampai sekarang para filsuf hanya menafsirkan dunia dengan pelbagai cara. Yang penting adalah kini kita mengubah dunia" (Tesis mengenai Feuerbach, nr. 11, 1845/46).
Mengapa Marx menyebut agama sebagai candu? Sebab, agama membuat manusia hidup dalam suatu dunia khayalan. Baginya agama adalah semacam eskapisme, usaha untuk keluar dari dunia yang nyata agar dapat masuk suatu dunia lain yang tidak lagi ditandai penderitaan dan kesusahan, suatu dunia sempurna. Agama dengan janjinya tentang surga yang penuh kebahagiaan menyediakan penghiburan yang memuaskan bila keadaan di "lembah mata air" ini (menurut suatu ungkapan keagamaan) sudah tak tertahankan lagi. Tetapi, sayangnya, dunia sempurna itu adalah mimpi belaka. Karena itu, tanpa disadari manusia menipu diri dengan mengejar dunia sempurna itu. Dengan itu manusia sendiri sangat dirugikan, sebab ia melarikan diri dari tugasnya memperbaiki nasibnya dan membuat dunianya tempat yang pantas dihuni dan dikerjakan manusia.
YANG menarik adalah bahwa dalam zaman kita sekarang terjadi kebalikannya dengan yang dilukiskan oleh Marx dulu. Jika di mata Marx agama adalah candu, kini candu menjadi agama. Dalam hal ini kita memakai kata "candu" untuk menunjukkan segala bentuk obat terlarang; tetapi selanjutnya kita memakai istilah "narkotika" saja. Pemakaian narkotika sekarang menjadi suatu masalah besar di seluruh dunia.
Memang benar, pemakaian narkotika merupakan suatu percobaan untuk melarikan diri dari keadaan konkret, suatu usaha untuk masuk dunia khayalan. Tetapi, dengan itu dicari sesuatu yang absolut, sesuatu yang definitif, sesuatu yang sungguh membahagiakan. Jadi, yang dicari melalui pemakaian narkotika justru apa yang dijanjikan oleh agama. Dengan demikian, pemakaian narkotika menjadi semacam pengganti agama. Hal itu terutama terasa di dunia Barat, tempat sekularisasi sangat menonjol, sehingga agama tidak lagi berperanan besar dalam kehidupan umum.
Hubungan antara pemakaian narkotika dan agama itu ditunjukkan oleh beberapa istilah yang digunakan dalam konteks narkotika, yang sering bercirikan bahasa keagamaan. Contoh yang paling jelas adalah nama ecstasy. Seperti diketahui, ecstasy adalah obat kimiawi yang mengalami banyak sukses sejak dasawarsa 1990-an. Menurut penelitian di Amerika Serikat, delapan persen murid sekolah menengah pernah mencoba obat terlarang ini.
Jika ecstasy adalah nama populernya, nama ilmiahnya adalah methylenedioxymethamphetamine, disingkat MDMA. Obat ini diakui berkemampuan kuat mengubah suasana hati seseorang dan bahkan kepribadiannya (mood-and personality-altering). Menurut para ahli, hal itu disebabkan oleh kesanggupannya menstimulasi zat serotonin dalam otak. Orang yang pernah mencoba suatu ecstasy trip dapat memberikan kesaksian yang cukup mengesankan tentang pengalaman ilegal itu.
Nama ecstasy itu adalah versi Inggris untuk kata Yunani ekstasis yang berarti "menempatkan diri di luar" atau "keadaan keluar dari dirinya sendiri". Ekstasis atau ekstase itu menunjukkan pengalaman mistik. Dalam semua agama-baik yang bersifat teistis maupun yang panteistis-ditemukan pola mistik sebagai puncak penghayatan keagamaan. Ekstase adalah tahap terakhir pengalaman mistik itu, di mana jiwa bersatu dengan Tuhan.
Guna mencapai saat ekstase itu, manusia harus mengikuti suatu jalan penyempurnaan yang panjang. Menurut tradisi yang berasal dari filsuf Yunani Plotinos, ia bahkan harus mengikuti tiga jalan: via purgativa (jalan pembersihan), via contemplativa (jalan kontemplatif, permenungan), dan via illuminativa (jalan penerangan, pencerahan). Pada ujung perjalanan panjang itu, makhluk insani akhirnya dapat bercampur baur dengan Sang Pencipta melalui ekstase dan dengan demikian kembali kepada sumbernya.
Menurut para mistisi, pengalaman ekstase itu ditandai ineffability: tidak mungkin diungkapkan dengan kata. Karena itu, mereka sering mencari lambang untuk merumuskan pengalaman unik ini, antara lain persatuan antara pengantin pria dan wanita. Mistisi Belanda Ruusbroec (abad ke-14), misalnya, melukiskan pengalamannya dalam buku Pernikahan Rohani. Tetapi, simbol seperti itu mudah salah dimengerti, juga karena ekstase mistik tidak merupakan suatu keadaan tetap, tidak sering terjadi, dan-kalaupun dialami-tidak berlangsung lama.
DIBANDINGKAN dengan masa lampau, dalam zaman kita sekarang mistik tidak begitu menonjol lagi dalam bidang keagamaan, meskipun tidak pernah (dan tidak mungkin juga) sampai lengkap sama sekali. Karena itu, menjadi ekstratragis bila unsur hakiki agama itu sekarang dikaitkan dengan pemakaian narkotika. Tragis, karena narkotika justru membawa kehancuran. Kehancuran fisik, mental, dan juga sosial, karena berulang kali dapat disaksikan bagaimana kasus narkotika membawa banyak penderitaan bagi lingkungannya, khususnya keluarganya.
Pemakaian narkotika bukan merupakan suatu fenomena baru. Sepanjang sejarah hal itu selalu dikenal, tetapi tidak pernah pada skala begitu besar seperti sekarang. Yang baru adalah munculnya banyak narkotika kimiawi-seperti ecstasy-di samping narkotika alami yang sudah lama dikenal, setidak-tidaknya dalam lingkungan terbatas.
Faktor baru yang lebih penting lagi adalah penyebaran narkotika menurut sistem penyaringan internasional. Baik transportasi maupun pemasaran pandai memanfaatkan jaringan komunikasi modern. Karena itu, mereka berhasil mencakup begitu banyak tempat dan mencapai begitu banyak pemakai. Dengan demikian, masalah narkotika ini menjadi suatu akibat negatif globalisasi yang menandai zaman kita.
VERSI pertama (candu bagi rakyat) memberi kesan seolah-olah agama menjadi alat dalam tangan golongan kecil (alim ulama, kaum rohaniwan) untuk mempermainkan dan menindas rakyat, barangkali atas nama dan bekerja sama dengan golongan yang berkuasa (kaum kapitalis). Kalau begitu, rakyat biasa menjadi korban penipuan karena itikad buruk segelintir orang yang berhasil merekayasa masyarakat dengan cara demikian.
Maksud Karl Marx tidak demikian. Menurut dia, agama menjadi candu rakyat sebagai suatu keadaan obyektif dalam masyarakat. Adanya agama mencerminkan struktur-struktur sosial tidak sehat dalam masyarakat. Yang dimaksud dengan struktur tidak sehat tentunya tata susunan masyarakat yang kapitalistis. Tapi, kaum kapitalis tidak menjadi biang keladi keadaan itu. Dalam arti tertentu mereka juga menjadi korban, bukan saja kaum buruh, meskipun kedudukan mereka jauh lebih menyenangkan.
Dengan menentang agama, Marx (dan semua orang yang sepakat dengan dia) sudah berusaha mengubah keadaan masyarakat yang tidak sehat itu. Dan memang begitu seluruh usaha intelektualnya. "Sampai sekarang para filsuf hanya menafsirkan dunia dengan pelbagai cara. Yang penting adalah kini kita mengubah dunia" (Tesis mengenai Feuerbach, nr. 11, 1845/46).
Mengapa Marx menyebut agama sebagai candu? Sebab, agama membuat manusia hidup dalam suatu dunia khayalan. Baginya agama adalah semacam eskapisme, usaha untuk keluar dari dunia yang nyata agar dapat masuk suatu dunia lain yang tidak lagi ditandai penderitaan dan kesusahan, suatu dunia sempurna. Agama dengan janjinya tentang surga yang penuh kebahagiaan menyediakan penghiburan yang memuaskan bila keadaan di "lembah mata air" ini (menurut suatu ungkapan keagamaan) sudah tak tertahankan lagi. Tetapi, sayangnya, dunia sempurna itu adalah mimpi belaka. Karena itu, tanpa disadari manusia menipu diri dengan mengejar dunia sempurna itu. Dengan itu manusia sendiri sangat dirugikan, sebab ia melarikan diri dari tugasnya memperbaiki nasibnya dan membuat dunianya tempat yang pantas dihuni dan dikerjakan manusia.
YANG menarik adalah bahwa dalam zaman kita sekarang terjadi kebalikannya dengan yang dilukiskan oleh Marx dulu. Jika di mata Marx agama adalah candu, kini candu menjadi agama. Dalam hal ini kita memakai kata "candu" untuk menunjukkan segala bentuk obat terlarang; tetapi selanjutnya kita memakai istilah "narkotika" saja. Pemakaian narkotika sekarang menjadi suatu masalah besar di seluruh dunia.
Memang benar, pemakaian narkotika merupakan suatu percobaan untuk melarikan diri dari keadaan konkret, suatu usaha untuk masuk dunia khayalan. Tetapi, dengan itu dicari sesuatu yang absolut, sesuatu yang definitif, sesuatu yang sungguh membahagiakan. Jadi, yang dicari melalui pemakaian narkotika justru apa yang dijanjikan oleh agama. Dengan demikian, pemakaian narkotika menjadi semacam pengganti agama. Hal itu terutama terasa di dunia Barat, tempat sekularisasi sangat menonjol, sehingga agama tidak lagi berperanan besar dalam kehidupan umum.
Hubungan antara pemakaian narkotika dan agama itu ditunjukkan oleh beberapa istilah yang digunakan dalam konteks narkotika, yang sering bercirikan bahasa keagamaan. Contoh yang paling jelas adalah nama ecstasy. Seperti diketahui, ecstasy adalah obat kimiawi yang mengalami banyak sukses sejak dasawarsa 1990-an. Menurut penelitian di Amerika Serikat, delapan persen murid sekolah menengah pernah mencoba obat terlarang ini.
Jika ecstasy adalah nama populernya, nama ilmiahnya adalah methylenedioxymethamphetamine, disingkat MDMA. Obat ini diakui berkemampuan kuat mengubah suasana hati seseorang dan bahkan kepribadiannya (mood-and personality-altering). Menurut para ahli, hal itu disebabkan oleh kesanggupannya menstimulasi zat serotonin dalam otak. Orang yang pernah mencoba suatu ecstasy trip dapat memberikan kesaksian yang cukup mengesankan tentang pengalaman ilegal itu.
Nama ecstasy itu adalah versi Inggris untuk kata Yunani ekstasis yang berarti "menempatkan diri di luar" atau "keadaan keluar dari dirinya sendiri". Ekstasis atau ekstase itu menunjukkan pengalaman mistik. Dalam semua agama-baik yang bersifat teistis maupun yang panteistis-ditemukan pola mistik sebagai puncak penghayatan keagamaan. Ekstase adalah tahap terakhir pengalaman mistik itu, di mana jiwa bersatu dengan Tuhan.
Guna mencapai saat ekstase itu, manusia harus mengikuti suatu jalan penyempurnaan yang panjang. Menurut tradisi yang berasal dari filsuf Yunani Plotinos, ia bahkan harus mengikuti tiga jalan: via purgativa (jalan pembersihan), via contemplativa (jalan kontemplatif, permenungan), dan via illuminativa (jalan penerangan, pencerahan). Pada ujung perjalanan panjang itu, makhluk insani akhirnya dapat bercampur baur dengan Sang Pencipta melalui ekstase dan dengan demikian kembali kepada sumbernya.
Menurut para mistisi, pengalaman ekstase itu ditandai ineffability: tidak mungkin diungkapkan dengan kata. Karena itu, mereka sering mencari lambang untuk merumuskan pengalaman unik ini, antara lain persatuan antara pengantin pria dan wanita. Mistisi Belanda Ruusbroec (abad ke-14), misalnya, melukiskan pengalamannya dalam buku Pernikahan Rohani. Tetapi, simbol seperti itu mudah salah dimengerti, juga karena ekstase mistik tidak merupakan suatu keadaan tetap, tidak sering terjadi, dan-kalaupun dialami-tidak berlangsung lama.
DIBANDINGKAN dengan masa lampau, dalam zaman kita sekarang mistik tidak begitu menonjol lagi dalam bidang keagamaan, meskipun tidak pernah (dan tidak mungkin juga) sampai lengkap sama sekali. Karena itu, menjadi ekstratragis bila unsur hakiki agama itu sekarang dikaitkan dengan pemakaian narkotika. Tragis, karena narkotika justru membawa kehancuran. Kehancuran fisik, mental, dan juga sosial, karena berulang kali dapat disaksikan bagaimana kasus narkotika membawa banyak penderitaan bagi lingkungannya, khususnya keluarganya.
Pemakaian narkotika bukan merupakan suatu fenomena baru. Sepanjang sejarah hal itu selalu dikenal, tetapi tidak pernah pada skala begitu besar seperti sekarang. Yang baru adalah munculnya banyak narkotika kimiawi-seperti ecstasy-di samping narkotika alami yang sudah lama dikenal, setidak-tidaknya dalam lingkungan terbatas.
Faktor baru yang lebih penting lagi adalah penyebaran narkotika menurut sistem penyaringan internasional. Baik transportasi maupun pemasaran pandai memanfaatkan jaringan komunikasi modern. Karena itu, mereka berhasil mencakup begitu banyak tempat dan mencapai begitu banyak pemakai. Dengan demikian, masalah narkotika ini menjadi suatu akibat negatif globalisasi yang menandai zaman kita.
Pemahaman Absolut
Seekor gajah dibawa ke sekelompok orang buta yang belum pernah bertemu binatang semacam itu. Yang satu meraba kakinya dan mengatakan bahwa gajah adalah tiang raksasa yang hidup. yang lin meraba belalainya dan menyebutkan gajah sebagai ular raksasa. yang lin meraba gadingnya dan menganggap gajah adalah semacam bajak raksasa yang sangat tajam, dan seterusnya. Kemudian mereka bertengkar, masing-masing merasa pendapatnya yang paling benar, dan pendapat orang lain salah.
Tidak ada satupun pendapat mereka yang benar mutlak, dan tak ada satupun yang salah. Kebenaran mutlak, atau satu kebenaran untuk semua, tidak dapat dicapai karena gerakan konstan dari keadaan orang yang mengatakannya, kepada siapa, kapan, dimana, mengapa, dan bagaimana hal itu diatakan. Yang ditegaskan oleh masing-masing orang buta tersebut adalah sudut pandang yang menggambarkan bentuk seekora gajah, bukan kebenaran absolut.
Setiap orang belajar melihat berbagai hal melalui pemikiran dan nalurinya masing-masing. Kehidupannya di masa lalu membantu mereka untuk menentukan pendapat mereka terhadap berbagai masalah dan obyek yang mereka temui. Karena masing-masing individu memiliki pemikiran dan naluri, maka persepsi yang ditemui merupakan kebenaran, bukan merupakan kesalahan. Hidup tidak hanya mengandung satu kebenaran untuk suatu ide atau obyek tertentu, namun kita dapat menemukan banyak kebenaran dalam persepsi seseorang. Seseorang tidak seharusnya membuktikan kebenaran bahwa satu obyek mengandung arti yang benar, namun seharusnya membangun konsepsi di sekeliling obyek.
Usaha untuk menentukan sesuatu kebenaran merupakan hal yang sulit, bahkan mustahil. Persepsi kita dalam menilai suatu realitas mungkin berbeda dari satu orang ke orang yang lain. Satu hal yang mungkin benar untuk seseorang bisa jadi berbeda untuk orang lain. Karena setiap orang memiliki persepsi yang berbeda mengenai hidup, sulit untuk menimbang kandungan kebenaran sebuah konsep.
Setiap pendapat dibentuk sebagai satu kebenaran untuk individu yang mengasumsikannya. Variasi dari berbagai konsep mungkin baik untuk dipertimbangkan kebenarannya. Disinilah orang membangun pemahaman yang lebih mendalam untuk suatu obyek. Kebenaran dapat diraih melalui konsep dan bukan melalui obyek itu sendiri. karena berbagai individu memiliki persepsi yang berbeda, mereka memiliki berbagai kebenaran untuk dipertimbangkan atau tidak dipertimbangkan.
Sebagai contoh, mustahil untuk mempertimbangkan, benar atau salah, memotong pohon bisa merupakan hal yang 'baik' atau 'buruk'. Seseorang mungkin memiliki konsep bahwa memotong pohon menghancurkan rumah untuk burung dan binatang-binatang lain. Yang lain beranggapan bahwa memotong pohon merupakan sesuatu yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam membangun rumah. Hanya karena ada beberapa sudut pandang untuk kasus ini, tidak berarti bahwa pasti ada pernyataan yang salah. Pohon dapat digunakan untuk berbagai keperluan, mulai dari obat-obatan, kertas, sampai perahu, dan tidak ada yang salah dari pandangan ini. Pohon akan tetap berdiri sebagai pohon, tapi nilai dari pohon tersebut dapat berbeda, tergantung siapa yang menggunakannya.
Konsep tentang Tuhan atau ketiadaan Tuhan, adalah masalah lain yang sering ingin dibuktikan. Seorang filsuf terkenal, Soren Kierkegaard menyatakan, "Jika TUhan tidak ada, akan sangat mustahil untuk bisa membuktikannya; dan jika Ia memang benar-benar ada, sangatlah tolol untuk mencoba membuktikannya." Pembuktian keberadaan atau ketidakberadaan TUhan hanya menghasilkan alasan untuk percaya, bukan bukti nyata keberadaan Tuhan. Kierkegaard juga menegaskan, "... antara Tuhan dan KaryaNya terdapat relasi yang absolut: Tuhan bukanlah sebuah nama, namun sebuah konsep." (Kierkegaard, 72). Relasi antara manusi dengan Tuhan adalah sebuah konsep. Seseorang yang percaya akan TUhan, tidak dapat membuktikan keberadaanNya melalui relasi pribadinya dengan Tuhan. Kierkegaard menambahkan lagi, "Karya Tuhan adalah sesuatu yang hanya dapat dilakukanNya."
Kita tidak memiliki dasar untuk membuktikan karya Tuhan. Kita juga tidak tahu karya macam apa yang dilakukan TUhan pada masing-masing individu. Namun, beberapa kelompok religius telah membuat kesalahan dengan memaksakan kepercayaannya pada individu-individu yang berbeda. Beberapa dari mereka menyatkaan bahwa kepercayaan mereka adalah satu-satunya kepercayaan yang "benar". Hal ini tidak dapat dibenarkan. Ini mungkin merupakan alasan mengapa agama atau kepercayaan menjadi faktor terbesar dalam perang-perang yang pernah terjadi. Usaha untuk mencari pengikut satu kebenaran, tidak dilakukan dengan membebaskan individu atau masyarakat untuk mengikuti hal yang mereka anggap benar, namun malah membuat orang frustasi dan bermusuhan.
Semua konsep sangatlah dinamis, kebenaran bagi seseorang yang mempercayai mungkin nampak ironis bagi dirinya. Seseorang mungkin percaya bahwa televisi mendukung kekerasan pada anak-anak, dengan mengekspos penggunaan kata-kata kotor dan kebodohan yang dilakukan. Orang lain mungkin percaya bahwa televisi merupakan alat pendidik karena mengekspos masalah-masalah tersebut dengan tujuan untuk dipahami. Meski keduanya mungkin sangat benar bagi masing-masing orang yang menyatakannya, dua masalah ini sangat kontradiktif. Ketidaksepahaman tidak membuat pernyataan yang lain salah, namun membentuk kebenaran yang lain.
Jika masing-masing orang buta menghabiskan waktu lebih banyak untuk memahami kebenaran lain yang ada dibanding membuktikan pendapatnya yang paling benar, mereka mungkin menemukan bahwa gajah adalah sebuah tiang raksasa yang hidup, ular raksasa, atau bajak yang sangat tajam pada saat yang sama, atau pada saat yang berbeda-beda. Mungkin juga mereka menyimpulkan gajah bukan salah satu dari gambaran yang telah mereka sebutkan. Opini dari orang-orang buta itu mungkin akan bergerak konstan, karena penerimaan dari berbagai sudut pandang yang saat ini ada, atau mungkin ada di masa yang akan datang. Meski gajah itu tetap sama, opini tentangnya mungkin akan berubah dan beradaptasi.
Tidak ada satupun pendapat mereka yang benar mutlak, dan tak ada satupun yang salah. Kebenaran mutlak, atau satu kebenaran untuk semua, tidak dapat dicapai karena gerakan konstan dari keadaan orang yang mengatakannya, kepada siapa, kapan, dimana, mengapa, dan bagaimana hal itu diatakan. Yang ditegaskan oleh masing-masing orang buta tersebut adalah sudut pandang yang menggambarkan bentuk seekora gajah, bukan kebenaran absolut.
Setiap orang belajar melihat berbagai hal melalui pemikiran dan nalurinya masing-masing. Kehidupannya di masa lalu membantu mereka untuk menentukan pendapat mereka terhadap berbagai masalah dan obyek yang mereka temui. Karena masing-masing individu memiliki pemikiran dan naluri, maka persepsi yang ditemui merupakan kebenaran, bukan merupakan kesalahan. Hidup tidak hanya mengandung satu kebenaran untuk suatu ide atau obyek tertentu, namun kita dapat menemukan banyak kebenaran dalam persepsi seseorang. Seseorang tidak seharusnya membuktikan kebenaran bahwa satu obyek mengandung arti yang benar, namun seharusnya membangun konsepsi di sekeliling obyek.
Usaha untuk menentukan sesuatu kebenaran merupakan hal yang sulit, bahkan mustahil. Persepsi kita dalam menilai suatu realitas mungkin berbeda dari satu orang ke orang yang lain. Satu hal yang mungkin benar untuk seseorang bisa jadi berbeda untuk orang lain. Karena setiap orang memiliki persepsi yang berbeda mengenai hidup, sulit untuk menimbang kandungan kebenaran sebuah konsep.
Setiap pendapat dibentuk sebagai satu kebenaran untuk individu yang mengasumsikannya. Variasi dari berbagai konsep mungkin baik untuk dipertimbangkan kebenarannya. Disinilah orang membangun pemahaman yang lebih mendalam untuk suatu obyek. Kebenaran dapat diraih melalui konsep dan bukan melalui obyek itu sendiri. karena berbagai individu memiliki persepsi yang berbeda, mereka memiliki berbagai kebenaran untuk dipertimbangkan atau tidak dipertimbangkan.
Sebagai contoh, mustahil untuk mempertimbangkan, benar atau salah, memotong pohon bisa merupakan hal yang 'baik' atau 'buruk'. Seseorang mungkin memiliki konsep bahwa memotong pohon menghancurkan rumah untuk burung dan binatang-binatang lain. Yang lain beranggapan bahwa memotong pohon merupakan sesuatu yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam membangun rumah. Hanya karena ada beberapa sudut pandang untuk kasus ini, tidak berarti bahwa pasti ada pernyataan yang salah. Pohon dapat digunakan untuk berbagai keperluan, mulai dari obat-obatan, kertas, sampai perahu, dan tidak ada yang salah dari pandangan ini. Pohon akan tetap berdiri sebagai pohon, tapi nilai dari pohon tersebut dapat berbeda, tergantung siapa yang menggunakannya.
Konsep tentang Tuhan atau ketiadaan Tuhan, adalah masalah lain yang sering ingin dibuktikan. Seorang filsuf terkenal, Soren Kierkegaard menyatakan, "Jika TUhan tidak ada, akan sangat mustahil untuk bisa membuktikannya; dan jika Ia memang benar-benar ada, sangatlah tolol untuk mencoba membuktikannya." Pembuktian keberadaan atau ketidakberadaan TUhan hanya menghasilkan alasan untuk percaya, bukan bukti nyata keberadaan Tuhan. Kierkegaard juga menegaskan, "... antara Tuhan dan KaryaNya terdapat relasi yang absolut: Tuhan bukanlah sebuah nama, namun sebuah konsep." (Kierkegaard, 72). Relasi antara manusi dengan Tuhan adalah sebuah konsep. Seseorang yang percaya akan TUhan, tidak dapat membuktikan keberadaanNya melalui relasi pribadinya dengan Tuhan. Kierkegaard menambahkan lagi, "Karya Tuhan adalah sesuatu yang hanya dapat dilakukanNya."
Kita tidak memiliki dasar untuk membuktikan karya Tuhan. Kita juga tidak tahu karya macam apa yang dilakukan TUhan pada masing-masing individu. Namun, beberapa kelompok religius telah membuat kesalahan dengan memaksakan kepercayaannya pada individu-individu yang berbeda. Beberapa dari mereka menyatkaan bahwa kepercayaan mereka adalah satu-satunya kepercayaan yang "benar". Hal ini tidak dapat dibenarkan. Ini mungkin merupakan alasan mengapa agama atau kepercayaan menjadi faktor terbesar dalam perang-perang yang pernah terjadi. Usaha untuk mencari pengikut satu kebenaran, tidak dilakukan dengan membebaskan individu atau masyarakat untuk mengikuti hal yang mereka anggap benar, namun malah membuat orang frustasi dan bermusuhan.
Semua konsep sangatlah dinamis, kebenaran bagi seseorang yang mempercayai mungkin nampak ironis bagi dirinya. Seseorang mungkin percaya bahwa televisi mendukung kekerasan pada anak-anak, dengan mengekspos penggunaan kata-kata kotor dan kebodohan yang dilakukan. Orang lain mungkin percaya bahwa televisi merupakan alat pendidik karena mengekspos masalah-masalah tersebut dengan tujuan untuk dipahami. Meski keduanya mungkin sangat benar bagi masing-masing orang yang menyatakannya, dua masalah ini sangat kontradiktif. Ketidaksepahaman tidak membuat pernyataan yang lain salah, namun membentuk kebenaran yang lain.
Jika masing-masing orang buta menghabiskan waktu lebih banyak untuk memahami kebenaran lain yang ada dibanding membuktikan pendapatnya yang paling benar, mereka mungkin menemukan bahwa gajah adalah sebuah tiang raksasa yang hidup, ular raksasa, atau bajak yang sangat tajam pada saat yang sama, atau pada saat yang berbeda-beda. Mungkin juga mereka menyimpulkan gajah bukan salah satu dari gambaran yang telah mereka sebutkan. Opini dari orang-orang buta itu mungkin akan bergerak konstan, karena penerimaan dari berbagai sudut pandang yang saat ini ada, atau mungkin ada di masa yang akan datang. Meski gajah itu tetap sama, opini tentangnya mungkin akan berubah dan beradaptasi.
Langganan:
Postingan (Atom)